Tema : Haid dan Nifas Muslimah
Oleh : Sabrina Maharin Pratama, S.KG
Dalam menjalani haid, wanita dikelompokkan menjadi 3
kategori, yaitu:
1.
Wanita yang baru
menjalani masa haid
Wanita yang baru pertama kali mengeluarkan
darah haid. Saat haid, wanita berkewajiban meninggalkan shalat, puasa,
berhubungan badan, hingga datang masa suci. Jika masa haid telah selesai dalam
1 atau paling lama 15 hari, maka ia wajib mandi dan mengerjakan shalat. Jika
sudah 15 hari, darah haid masih mengalir, maka ia dianggap mengalami masa
isthihadah (akan dibahas di poin selanjutnyaa)
2.
Wanita yang biasa
menjalani haid
Wanita yang pada hari-hari tertentu di
setiap bulannya mengalami masa haid. Jika sudah melihat darah berwarna
kekuningan atau berwarna keruh, maka itu sudah termasuk awal masa haid.
Jika setelah hari-hari haidnya tersebut,
masih ada keluar darah dengan sifat yang sama, maka ia tidak perlu
menghitungnya sebagai darah haid. Hal ini sesuai dengan ucapan Ummu Athiyah ra,
“Kami tidak memperhitungkan sama sekali darah yang berwarna kekuningan atau
keruh setelah lewat masa bersuci.” (HR. Al Bukhari).
Sebagian dari ulama berpendapat, wanita yang
haid lebih dari hari yang biasa dijalani tiap bulannya, maka hendaknya ia
bersuci selama 3 hari, dan setelah itu mandi, dan mengerjakan shalat, selama keluarnya
darah tidak lebih dari 15 hari.
Jika lebih dari 15 hari, maka dikategorikan
ke dalam wanita yang mengalami darah istihadah.
3.
Wanita yang
mengalami Istihadah
Wanita yang mengeluarkan darah terus-menerus
melebihi kebiasaan masa haidnya. Wanita yang mengalami masa istihadah harus
berwudhu setiap akan shalat, lalu menggunakan pembalut/celana dalam bersih, dan
selanjutnya boleh mengerjakan shalat, meskipun darahnya tetap mengalir. Ada
hadits dari Fathimah binti Abi Jahsyin, beliau pernah mengalami masa istihadah
dan Rasulullah bersabda, “Jika darah haid, maka ia berwarna hitam, seperti yang
telah diketahui banyak wanita. Jika yang keluar adalah darah seperti itu, maka
tinggalkanlah shalat. Jika yang keluar adalah darah lain (istihadah), maka
berwudhulah setelah mandi dan laksanakan shalat. Karena darah tersebut adalah
penyakit.” (HR Abu Dawud, An-Nasa’i)
*NIFAS*
Nifas adalah darah yang keluar yang disebabkan oleh
kelahiran anak. Hukum yang berlaku pada nifas adalah sama seperti hukum haid,
baik yang diharamkan, diwajibkan maupun dihapuskan. Nifas adalah darah haid
yang tertahan karena proses kehamilan. Masa nifas maksimal terjadi selama 40
hari.
Para ulama dari kalangan sahabat Rasulullah dan
para tabi'in sudah sepakat, bahwa wanita yang nifas harus meninggalkan shalat
selama 40 hari. Namun jika sudah suci, harus mandi besar dan mengerjakan
shalat.
*Cara Mengetahui Kesucian*
Bisa dengan menggunakan kapas yang disentuhkan ke
kemaluannya, lalu diamati, apakah masih ada darah yang keluar atau tidak. hal
ini dilakukan saat bangun tidur dan sebelum tidur.
Ini dilakukan untuk mendapatkan bukti, apakah dia dalam
keadaan suci, atau masih ada yang keluar setelah ia bersuci.
Selanjutnyaa, adalah apa saja yang dilarang ketika kita
dalam masa haid dan nifas ukhtii~
1.
SHALAT
Ulama sepakat bahwa diharamkan shalat bagi
wanita haid dan nifas, baik shalat wajib maupun shalat sunnah.
Dan mereka pun sepakat bahwa wanita haid
tidak memiliki kewajiban shalat dan tidak perlu mengqodho’ atau menggantinya
ketika ia suci.
Dari Abu Sai’d, Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
أَلَيْسَ إِذَا حَاضَتْ لَمْ تُصَلِّ ، وَلَمْ تَصُمْ فَذَلِكَ نُقْصَانُ دِينِهَا
“Bukankah bila si wanita haid ia tidak shalat dan tidak pula puasa? Itulah kekurangan agama si wanita. (Muttafaqun ‘alaih, HR. Bukhari no. 1951 dan Muslim no. 79)
أَلَيْسَ إِذَا حَاضَتْ لَمْ تُصَلِّ ، وَلَمْ تَصُمْ فَذَلِكَ نُقْصَانُ دِينِهَا
“Bukankah bila si wanita haid ia tidak shalat dan tidak pula puasa? Itulah kekurangan agama si wanita. (Muttafaqun ‘alaih, HR. Bukhari no. 1951 dan Muslim no. 79)
Dari Mu’adzah, ia berkata bahwa ada seorang
wanita yang berkata kepada ‘Aisyah,
أَتَجْزِى إِحْدَانَا صَلاَتَهَا إِذَا طَهُرَتْ فَقَالَتْ أَحَرُورِيَّةٌ أَنْتِ كُنَّا نَحِيضُ مَعَ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – فَلاَ يَأْمُرُنَا بِهِ . أَوْ قَالَتْ فَلاَ نَفْعَلُهُ
أَتَجْزِى إِحْدَانَا صَلاَتَهَا إِذَا طَهُرَتْ فَقَالَتْ أَحَرُورِيَّةٌ أَنْتِ كُنَّا نَحِيضُ مَعَ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – فَلاَ يَأْمُرُنَا بِهِ . أَوْ قَالَتْ فَلاَ نَفْعَلُهُ
“Apakah kami perlu mengqodho’ shalat kami
ketika suci?” ‘Aisyah menjawab, “Apakah engkau seorang Haruri? Dahulu kami
mengalami haid di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam masih hidup, namun
beliau tidak memerintahkan kami untuk mengqodho’nya. Atau ‘Aisyah berkata,
“Kami pun tidak mengqodho’nya.” (HR. Bukhari no. 321)
2.
PUASA
Dalam hadits Mu’adzah, ia pernah bertanya
pada ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha,
مَا بَالُ الْحَائِضِ تَقْضِى الصَّوْمَ وَلاَ تَقْضِى الصَّلاَةَ فَقَالَتْ أَحَرُورِيَّةٌ أَنْتِ قُلْتُ لَسْتُ بِحَرُورِيَّةٍ وَلَكِنِّى أَسْأَلُ. قَالَتْ كَانَ يُصِيبُنَا ذَلِكَ فَنُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّوْمِ وَلاَ نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّلاَةِ.
مَا بَالُ الْحَائِضِ تَقْضِى الصَّوْمَ وَلاَ تَقْضِى الصَّلاَةَ فَقَالَتْ أَحَرُورِيَّةٌ أَنْتِ قُلْتُ لَسْتُ بِحَرُورِيَّةٍ وَلَكِنِّى أَسْأَلُ. قَالَتْ كَانَ يُصِيبُنَا ذَلِكَ فَنُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّوْمِ وَلاَ نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّلاَةِ.
‘Kenapa gerangan wanita yang haid mengqadha’
puasa dan tidak mengqadha’ shalat?’ Maka Aisyah menjawab, ‘Apakah kamu dari
golongan Haruriyah? ‘ Aku menjawab, ‘Aku bukan Haruriyah, akan tetapi aku hanya
bertanya.’ Dia menjawab, ‘Kami dahulu juga mengalami haid, maka kami
diperintahkan untuk mengqadha’ puasa dan tidak diperintahkan untuk mengqadha’
shalat’.” (HR. Muslim no. 335).
Berdasarkan kesepakatan para ulama pula,
wanita yang dalam keadaan haid dan nifas tidak wajib puasa dan wajib mengqodho’
puasanya. (Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 28/ 20-21).
3.
Jima’ (Hubungan
intim di kemaluan)
Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Kaum
muslimin sepakat akan haramnya menyetubuhi wanita haid berdasarkan ayat Al
Qur’an dan hadits-hadits yang shahih.” (Al Majmu’, 2: 359)
Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,
“Menyetubuhi wanita nifas adalah sebagaimana wanita haid yaitu haram
berdasarkan kesepakatan para ulama.” (Majmu’ Al Fatawa, 21: 624)
Allah Ta’ala berfirman,
فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ
“Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan
diri dari (hubungan intim dengan) wanita di waktu haid.” (QS. Al Baqarah: 222).
Imam Nawawi berkata, “Mahidh dalam ayat bisa
bermakna darah haid, ada pula yang mengatakan waktu haid dan juga ada yang
berkata tempat keluarnya haid yaitu kemaluan. Dan menurut ulama Syafi’iyah,
maksud mahidh adalah darah haid.” (Al Majmu’, 2: 343)
Dalam hadits disebutkan,
مَنْ أَتَى حَائِضًا أَوِ امْرَأَةً فِى
دُبُرِهَا أَوْ كَاهِنًا فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أُنْزِلَ عَلَى مُحَمَّدٍ -صلى الله
عليه وسلم-
“Barangsiapa yang menyetubuhi wanita haid atau menyetubuhi wanita di duburnya, maka ia telah kufur terhadap apa yang diturunkan kepada Muhammad –shallallahu ‘alaihi wa sallam-.” (HR. Tirmidzi no. 135, Ibnu Majah no. 639.
“Barangsiapa yang menyetubuhi wanita haid atau menyetubuhi wanita di duburnya, maka ia telah kufur terhadap apa yang diturunkan kepada Muhammad –shallallahu ‘alaihi wa sallam-.” (HR. Tirmidzi no. 135, Ibnu Majah no. 639.
Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini
shahih).
Al Muhamili dalam Al Majmu’ (2: 359)
menyebutkan bahwa Imam Asy Syafi’i rahimahullah berkata, “Barangsiapa yang
menyetubuhi wanita haid, maka ia telah terjerumus dalam dosa besar.”
Hubungan seks yang dibolehkan dengan wanita
haid adalah bercumbu selama tidak melakukan jima’ (senggama) di kemaluan.
Dalam hadits disebutkan,
اصْنَعُوا كُلَّ شَىْءٍ إِلاَّ النِّكَاحَ
“Lakukanlah segala sesuatu (terhadap wanita
haid) selain jima’ (di kemaluan).” (HR. Muslim no. 302)
Dalam riwayat yang muttafaqun ‘alaih
disebutkan,
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ كَانَتْ إِحْدَانَا إِذَا كَانَتْ حَائِضًا ، فَأَرَادَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – أَنْ يُبَاشِرَهَا ، أَمَرَهَا أَنْ تَتَّزِرَ فِى فَوْرِ حَيْضَتِهَا ثُمَّ يُبَاشِرُهَا . قَالَتْ وَأَيُّكُمْ يَمْلِكُ إِرْبَهُ كَمَا كَانَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – يَمْلِكُ إِرْبَهُ
Dari ‘Aisyah, ia berkata bahwa di antara istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ada yang mengalami haid. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ingin bercumbu dengannya. Lantas beliau memerintahkannya untuk memakai sarung agar menutupi tempat memancarnya darah haid, kemudian beliau tetap mencumbunya (di atas sarung). Aisyah berkata, “Adakah di antara kalian yang bisa menahan hasratnya (untuk berjima’) sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menahannya?” (HR. Bukhari no. 302 dan Muslim no. 293).
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ كَانَتْ إِحْدَانَا إِذَا كَانَتْ حَائِضًا ، فَأَرَادَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – أَنْ يُبَاشِرَهَا ، أَمَرَهَا أَنْ تَتَّزِرَ فِى فَوْرِ حَيْضَتِهَا ثُمَّ يُبَاشِرُهَا . قَالَتْ وَأَيُّكُمْ يَمْلِكُ إِرْبَهُ كَمَا كَانَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – يَمْلِكُ إِرْبَهُ
Dari ‘Aisyah, ia berkata bahwa di antara istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ada yang mengalami haid. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ingin bercumbu dengannya. Lantas beliau memerintahkannya untuk memakai sarung agar menutupi tempat memancarnya darah haid, kemudian beliau tetap mencumbunya (di atas sarung). Aisyah berkata, “Adakah di antara kalian yang bisa menahan hasratnya (untuk berjima’) sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menahannya?” (HR. Bukhari no. 302 dan Muslim no. 293).
4.
Thawaf Keliling
Ka’bah*
Ketika ‘Aisyah haid saat haji, Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda padanya,
فَافْعَلِى مَا يَفْعَلُ الْحَاجُّ ، غَيْرَ
أَنْ لاَ تَطُوفِى بِالْبَيْتِ حَتَّى تَطْهُرِى
“Lakukanlah segala sesuatu yang dilakukan
orang yang berhaji selain dari melakukan thawaf di Ka’bah hingga engkau
suci.” (HR. Bukhari no. 305 dan Muslim no. 1211)
5.
Menyentuh Mushaf Al
Qur’an
Orang yang berhadats (hadats besar atau hadats
kecil) tidak boleh menyentuh mushaf seluruh atau sebagiannya. Inilah pendapat
para ulama empat madzhab.
Dalil dari hal ini adalah firman Allah
Ta’ala,
لَا يَمَسُّهُ إِلَّا الْمُطَهَّرُونَ
“Tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang
disucikan” (QS. Al Waqi’ah: 79)
Begitu pula sabda Nabi ‘alaihish sholaatu
was salaam,
لاَ تَمُسُّ القُرْآن إِلاَّ وَأَنْتَ طَاهِرٌ
“Tidak boleh menyentuh Al Qur’an kecuali
engkau dalam keadaan suci.” (HR. Al Hakim dalam Al Mustadroknya, beliau
mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih)
Bagaimana dengan membaca Al Qur’an? Para
ulama empat madzhab sepakat bolehnya membaca Al Qur’an bagi orang yang
berhadats baik hadats besar maupun kecil selama tidak menyentuhnya.
Syaikh Ibnu Baz rahimahullah berkata,
“Diperbolehkan bagi wanita haid dan nifas untuk membaca Al Qur’an menurut
pendapat ulama yang paling kuat. Alasannya, karena tidak ada dalil yang
melarang hal ini.
Namun, seharusnya membaca Al Qur’an tersebut
tidak sampai menyentuh mushaf Al Qur’an. Kalau memang mau menyentuh Al Qur’an,
maka seharusnya dengan menggunakan pembatas seperti kain yang suci dan
semacamnya (bisa juga dengan sarung tangan, pen).
Demikian pula untuk menulis Al Qur’an di
kertas ketika hajat (dibutuhkan), maka diperbolehkan dengan menggunakan
pembatas seperti kain tadi.” (Majmu’ Fatawa Ibnu Baz, 10: 209-210)
6.
Berdiam diri dalam
masjid
Jika hanya sekedar lewat dan berlalu, masih
diperbolehkan. Yang tidak boleh adalah ketika kita berdiam diri dalam waktu
yang lama di dalamnya.
Nah sekarang kita akan bahas amalan yang boleh dilakukan
saat haid dan nifas :
1.
Mencukur rambut dan
memotong kuku.
2.
Mendengarkan ceramah
agama dan majlis selama tidak dilakukan dalam masjid
3.
Berdzikir pada Allah
sebelum makan, minum, sebelum tidur.
4.
Membaca hadits, fiqih,
doa dan mengucapkan amin.
5.
Mendengarkan bacaan
Al Qur’an atau murojaah hafalan.
Sesi pertanyaan :
1.
Bagaimana ketika
kita ragu apakah itu darah haid atau bukan, apalagi saat bulan Ramadhan,
jadinya ragu mau puasa atau tidak? Bolehkah memegang dan atau membaca dari al-qur'an
yang ada terjemahannya?
Jawab :
Pertama, ukhti bisa perhatikan berapa hari
biasanya siklus atau masa haidnya anti berlangsung. Misalnya setiap bulannya
itu lima hari, lalu di bulan Ramadhan jadi enam hari, maka darah yang keluar di
hari ke-6 itu dianggap darah istihadah. Nah di hari ke-6 ukhti diwajibkan untuk
mandi, dan boleh mengerjakan shalat dan berpuasa.
Kedua, kalau ukhti tidak tau berapa lama
biasanya masa haid itu berlangsung, atau jumlah harinya berubah-ubah, atau
lupa, maka perhatikan sifat darahnya. Jika darahnya itu hitam, ukhti tidak
perlu mandi dan mengerjakan shalat. Nah, kalau darah seperti ini berhenti
kurang dari 15 hari setelah awal haid, maka ukhti wajib mandi dan wajib shalat
serta puasa.
Ada beberapa pendapat ulama seperti yang
sudah saya tuliskan sebelumnya ukhti. Kalau memang mau menyentuh Al Qur’an,
maka seharusnya dengan menggunakan pembatas seperti kain yang suci dan
semacamnya (bisa juga dengan sarung tangan, pen). Jadi walaupun Al Qur’an
terjemahan, tapi tetap isinya adalah ayat-ayat Al Qur’an secara lengkap kan
nggih, makanya kita tidak boleh menyentuhnya secara langsung, karena Al Qur’an
itu suci, sedangkan kita yang sedang haid ini sedang dalam keadaan hadats
besar.
1)
Kalau untuk membaca,
ada beberapa pendapat juga. Kalau membaca diniatkan untuk belajar, atau
mengajari orang lain, itu diperbolehkan. Tapi kalau membaca dengan niat untuk
tilawah, itu tidak boleh.
2)
Diperbolehkan bagi
wanita haid dan nifas untuk membaca Al Qur’an menurut pendapat ulama yang
paling kuat. Alasannya, karena tidak ada dalil yang melarang hal ini. Namun,
seharusnya membaca Al Qur’an tersebut tidak sampai menyentuh mushaf Al Qur’an.
Wallahu’alam bishawab.
2.
Terimakasih
kesempatannya kak, saya pernah mendengar atau membaca gitu kak, kalau selama
masa haid, jika ada bagian dari tubuh seperti rambut yg gugur, itu harus
disimpan dan nanti ketika mandi wajib, ikut dibasahi juga rambutnya. Mohon
penjelasannya kak yang lebih detail atau mungkin ada yang salahku mengerti
maksudnya.
Jawab :
Bismillahirrahmanirrahim
Ukhti, dalam Islam, kita harus meyakini
bahwa Allah dan Rasul-Nya tidak ingin menyulitkan kita. Dari beberapa referensi
yang saya cari, tidak ada dalil yang mewajibkan untuk mencuci rambut rontok
ketika haid di waktu mandi wajib.
Syaikhul Islam berkata: Saya tidak
mengetahui adanya dalil syar’i yang menyatakan makruh untuk memotong rambut
atau kuku bagi orang junub.
Bahkan sebaliknya terdapat, Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam telah memerintahkan kepada orang yang hendak masuk islam,
‘Buang rambut kekufuranmu (rambut ketika
belum masuk islam) dan lakukanlah khitan.’ (HR. Abu Daud). Beliau memerintahkan
orang yang hendak masuk islam untuk mandi, namun beliau tidak menyuruhnya untuk
khitan dan mencukur rambut setelah mandi. Sabda beliau yang bersifat umum ini
menunjukkan bahwa keduanya boleh (mandi dulu atau khitan dulu). Demikian pula,
wanita haid diperintahkan untuk menyisir rambut ketika mandi, padahal menyisir
rambut menyebabkan sebagian rontok. (Majmu’ Fatawa, 21/121)
3.
Maaf kak saya mau
menanyakan hal ini dalam beberapa studi kasus, bagaimana hukumnya apabila
seorang suami meminta melakukan hubungan badan ketika para istrinya sedang masa
haid? Dan bagaimana hukumnya untuk suami? Bagaimana cara kita untuk menolak
halus apa bila diharamkan dalam islam?
Jawab :
Bismillahirrahmanirrahim..
Dalam Al Qur’an dan Hadits sudah jelas
disebutkan bahwa tidak boleh mencampuri istri yang sedang haid, sampai dia
bersuci. Hukum suami yang mencampuri istrinya saat haid adalah haram,
bahkan pelakunya bisa dianggap kufur.
Dalam hadits disebutkan,
مَنْ أَتَى حَائِضًا أَوِ امْرَأَةً فِى
دُبُرِهَا أَوْ كَاهِنًا فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أُنْزِلَ عَلَى مُحَمَّدٍ -صلى الله
عليه وسلم-
“Barangsiapa yang menyetubuhi wanita haid
atau menyetubuhi wanita di duburnya, maka ia telah kufur terhadap apa yang
diturunkan kepada Muhammad –shallallahu ‘alaihi wa sallam-.” (HR. Tirmidzi no.
135, Ibnu Majah no. 639. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).
Al Muhamili dalam Al Majmu’ (2: 359) menyebutkan bahwa
Imam Asy Syafi’i rahimahullah berkata,
“Barangsiapa yang menyetubuhi wanita haid, maka ia telah terjerumus dalam dosa
besar.”
Istri adalah pakaian untuk suami, dan suami
adalah pakaian untuk istri. Ijma atau berhubungan badan adalah hal yang
diperbolehkan Allah untuk suami istri, tapi kalau melanggar ketentuan Allah,
tentu itu tidak boleh ukhti.
InsyaAllah ukhti, kalau suami paham dengan
agama, pasti tidak akan meminta melakukan hubungan badan ketika kita dalam
kondisi haid.
That’s why, religion is the most important
aspect to choose our husband’ to be.
Wallahu’alam bishowab