Kebijakan Ekonomi dan Kehidupan
Politik Pada Masa Demokrasi Liberal
Makalah ini dibuat untuk
memenuhi tugas sejarah yang diberikan oleh Ibu Siti Khodijah
Disusun oleh :
v Annisa Aprilia
v Faiz Syafaat
v Lena Herawati
v M. Zulfikar
Kelompok 4
SMA NEGERI 2 KOTA SERANG
Jl. Raya Pandeglang Km.5 Telp. (0254)250788 Serang-Banten
KATA
PENGANTAR
Pertama-tama
marilah kita panjatkan puji dan syukur kehadirat Tuhan yang maha esa yang telah
memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga kita dapat menyelesaikan tugas ini.
Makalah ini berjudul ”Kehidupan Politik & Ekonomi Pada Masa Demokrasi
Liberal”. Kami menyusun makalah ini dalam rangka tugas sejarah kami.
Pertama-tama kami ingin mengucapkan terima kasih kepada guru yang telah
memberikan tugas ini kepada kita, semoga dengan adanya tugas ini kita dapat
lebih memahami tentang masa demokrasi liberal ini.
Kami
sangat menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, dan tidak
lepas dari kekurangan dan kelemahan. Dari segi data, maupun analisisnya. Oleh
karena itu, saran dan kritik yang bersifat membangun sangat kami harapkan
sebagai bahan pertimbangan dan perbaikan dalam penulisan karya ilmiah
selanjutnya. Penyusunan makalah ini tidak lepas dari bantuan dan dorongan
rekan-rekan semua, guru mata pelajaran yang setia membimbing kami dengan baik.
Akhirnya
kami berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi seluruh pembaca dan dapat
menambah wawasan tentang pembahasan sebagai bidang ilmu pengetahuan.
Serang, Januari 2013
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ..................................................................................................... i
DAFTAR ISI .................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................................ 1
1.1 Latar Belakang .................................................................................................. 1
1.2 Tujuan ............................................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN ................................................................................................. 3
2.1 Kebijakan Ekonomi Pada Masa
Demokrasi Liberal ......................................... 3
A.
Nasionalisme De Javasche Bank ............................................................... 3
B.
Sistem Ekonomi Gerakan Benteng ............................................................ 4
C.
Rencana Soemitro ...................................................................................... 4
D.
Sistem Ali-Baba ......................................................................................... 4
2.2 Kehidupan Politik Pada Masa
Demokrasi Liberal ............................................ 5
A.
Silih Bergantinya Kabinet ......................................................................... 5
BAB III PENUTUP ......................................................................................................... 9
3.1 Kesimpulan ....................................................................................................... 9
3.2 Saran ................................................................................................................. 9
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................................... 10
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Demokrasi liberal atau
sistem parlementer di Indonesia berdampak pada instabilitas keamanan, politik
serta ekonomi. Hal ni dibuktikan hanya dalam rentang waktu 10 tahun terdapat 7
kabinet jatuh bangun. Disamping itu muncul gerakan–gerakan separatis serta
berbagai pemberontakan di daerah. Sementara itu, Dewan Konstituante yang
bertugas menyusun UUD yang baru gagal melaksanakan tugasnya disebabkan adanya
pertentangan diantara partai politik di Konstituante.
Dalam pidato tanggal 22
April 1959 didepan Konstituante dengan judul “Res Publica, Sekali Lagi Res
Publica”, Presiden Sukarno atas nama pemerintah menganjurkan, supaya
Konstituante dalam rangka rencana pelaksanaan Demokrasi Terpimpin menetapkan
UUD 1945 sebagai UUD bagi ketatanegaraan yang definitif.
Dewan Konstituante berbeda
pendapat dalam merumuskan dasar negara. Pertentangan tersebut antara kelompok
pendukung dasar negara Pancasila dan pendukung dasar negara berdasar syariat
Islam. Kelompok Islam mengusulkan agar mengamademen dengan memasukkan
kata–kata : dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi
pemeluk–pemeluknya” kedalam Pembukaan UUD 1945.
Usul amandemen tersebut
ditolak oleh sebagian besar anggota Konstituante dalam sidang tanggal 29
Mei 1959 dengan perbandingan suara 201 (setuju) berbanding 265(menolak). Sesuai
dengan ketentuan tata tertib maka diadakan pemungutan suara dua kali lagi.
Pemungutan suara terakhir dilakukan tanggal 2 Juni 1959 namun tidak mencapai
quorum. Akhirnya Konstituante mengadakan reses atau masa istirahat yang
ternyata untuk waktu tanpa batas.
Dengan memuncaknya krisis
nasional dan untuk menjaga ekses–ekses politik yang mengganggu ketertiban
negara, maka KSAD Letjen. A. H Nasution atas nama pemerintah/Penguasa Perang
Pusat (Peperpu), pada tanggal 3 Juni 1959 mengeluarkan peraturan No.
Prt./Peperpu/040/1959 tentang larangan mengadakan kegiatan politik.
Kegagalan Konstituante dalam
melaksanakan tugasnya sudah diprediksi sejak semula, terbukti dengan gagalnya
usaha kembali ke UUD 1945 melalui saluran konstitusi yang telah disarankan
pemerintah. Dengan jaminan dan dukungan dari Angkatan Bersenjata, Presiden
Sukarno pada tanggal 5 Juli 1959, mengumumkan Dekrit Presiden. Keputusan
Presiden R I No. 150 tahun 1959 yang dikenal sebagai Dekrit Presiden 5 Juli
1959.
1.2
Tujuan
·
Mengetahui kebijakan ekonomi pada masa demokrasi liberal.
·
Mengetahui arti dari Nasionalisme De Javasche Bank, Sistem
Ekonomi Gerakan Benteng, Rencana Soemitro, dan Istem Ali-Baba.
·
Mengetahui kehidupan politik pada masa demokrasi liberal.
·
Mengetahui kabinet-kabinet yang pernah memerintah Negara
Kesatuan Republik Indonesia pada masa demokrasi liberal.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Kebijakan
Ekonomi Pada Masa Demokrasi Liberal
A. Nasionalisme De Javasche Bank
Nasionlisme
de Javasche Bank menjadi Bank Indonesia dilaksanakan pada masa Kabinet Sukiman
(April 1951-Februari 1952).
Kebijakan
nasionalisme de Javasche Bank dikeluarkan berdasarkan Undang-Undang
Nasionalisme de Javasche Bank No. 24 Tahun 1951 pada 5 Desember 1951. Pemerintah
memberhentikan Presiden de Javasche Bank yang lama, yaitu Dr. Howink dan
mengangkat Mr. Syafrudin Prawiranegara sebagai Presiden de Javasche Bank yang
baru berdasarkan Keputusan Presiden RI No. 123 pada 12 Juli 1951.
Sementara
itu, perubahan nama de Javasche Bank menjadi Bank Indonesia (BI) yang berfungi
sebagai Bank Sentral dan Bank Sirkulasi terjadi setelah dikeluarkannya
Undang-Undang No. 11 Tahun 1953 dan Lembaran Negara No. 40 tentang UU Pokok BI
yang berlaku pada 1 Juli 1953.
Nasionalisme
de Javasche Bank menjadi Bank Indonesia ini melengkapi kepemilikan pemerintah
RI terhadap bank-bank peninggalan kolonial Belanda. Sebelumnya, pada Agustus
1946, pemerintah RI secara resmi mengambil alih de Javasche Bank Yogykarta
menjadi Bank Negara Indonesia yang dipimpi oleh Margono Djojohadikusumo.
Nasionalisasi
yang dijalankan pemerintah hanya berpengaruh positif terhdap jumlah aset yang
dimiliki oleh pemerintah. Namun demikian, tindakan tersebut tidak memiliki
pengaruh yang positif terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat pada
umumnya.
B. Sistem Ekonomi Gerakan Benteng
Sistem Ekonomi Gerakan Benteng merupakan gagasan dari
Dr. Soemitro Djojohadikusumo, Menteri Perdagangan pada masa pemerintahan
Kabinet Natsir, September 1950-April 1951.
Sistem Ekonomi Gerakan Benteng adalah suatu cara
perbaikan dan perubahan struktur ekonomi peninggalan Belanda ke arah ekonomi
nasional melalui gerakan konfrontasi ekonomi. Inti dari tujuan sistem ekonomi
ini adalah melindungi pengusaha pribumi dari persaingan pengusaha nonpribumi.
Selama 1950-1953 kurang lebih sekitar 700 pengusaha
pribumi mendapat kredit bantuan dari program ini. Dalam perkembangannya, usaha
ini tidak mencapai tujuan. Hal ini terjadi karena pengusaha pribumi lamban
dalam usahanya. Bahkn, ad yang menyalahgunakan bantuan pemerintah ini.
Akhirnya, sistem ekonomi Gerakan Benteng mengalami kegagalan. Setelah Kabinet
Natsir jatuh, sistem kabinet itu dilanjutkan oleh kabinet penggantinya, yaitu
Kabinet Sukiman. Menteri keuangan pada kabinet tersebut, Jusuf Wibisono,
memberlakukan kebijakan pemberian kredit kepada para pengusaha pribumi.
Kebijakan ini pun mengalami kegagalan.
C. Rencana Soemitro
Pemerintah Kabinet Natsir dalam peride yang sama,
mengeluarkan kebijakan untuk memperbaiki keadaan ekonomi, terutama di bidang
industri. Kebijakan indutrialisasi ini dikenal sebagai Rencana Soemitro.
Sasaran kebijakan ini lebih ditekankan pada pembangunan industri dasar, antara
lain pendirian pabrik semen, pabrik pemintalan, pabrik karung, peningkatan
produksi pangan, perbaikan sarana dan prasarana pertanian, dan maalah penanaman
modal asing.
D. Sistem Ali-Baba
Pada masa pemerintahan Kabinet Al Sastroamidjojo I
(Agustus 1954-Agustus 1955), Menteri Perekonomian Mr. Iskaq Cokrohadisuryo
memperkenalkan sistem ekonomi baru yang dikenal dengan nama Sistem Ali-Baba.
Artinya, bentuk kerjasama ekonomi antara pengusaha pribumi yang diidentikan
dengan Ali dan pengusaha Tionghoa yang diidentikan dengan Baba. Sistem ekonomi
ini lebih menekankan pada kebijakan Indonesianisasi yang mendorong tumbuh dan
berkembangnya pengusaha-pengusaha swasta nasional pribumi.
Pelakasanaan, sistem
ekonomi Ali-Baba tidak berjalan sebagaimana mestinya. Para pengusaha pribumi
akhirnya hanya dijadikan sebagai alat bagi para pegusaha Tionghoa untuk
mendapatkan kredit dari pemerintah.
Memasuki zaman
pemerintahan Demokrasi Terpimpin, berbagai upaya dilakukan oleh pemerintah.
Namun, kondisi kehidupan rakyat tetap menderita. Kondisi buruk seperti ini
diperparah dengan tidak berjalannya distribusi bahan makanan dari pusat
produksi ke daerah konsumsi akibat pemberontakan di berbagai daerah. Sementara
itu, jumlah uang yang beredar semakin banyak karena pemerintah terus mencetak
uang tanpa kendali. Uang tersebut digunakan uang membiayai proyek-proyek
mercusuar, seperti Games o the New Emerging Forces (Conefo). Akibatnya, inflasi
semakin tinggi dan mencapai hingga 300%. Untuk mengatasi masalah itu,
pemerintah mengeluarkan kebijaksanaan dengan pemotongan nilai mata uang.
Misalnya, uang Rp500,00 dihargai Rp50,00 dan uang Rp1000,00 dihargai Rp100,00.
Tindakan pemerintah tersebut ternyata tidak menambah perbaikan kehidupan
ekonomi rakyat.
2.2
Kehidupan Politik Pada Masa Demokrasi Liberal
A. Silih Bergantinya Kabinet
Sistem pemerintahan parlementer sesuai dengan UUDS 1950 ternyata tidak membawa
kestabilan politik. Selama 1950-1955, terdapat empat kali pergantian kabinet.
Kabinet-kabinet tersebut adalah Kabinet Natsir (September 1950-Maret 1951),
Kabinet Sukiman (April 1951-Februari 1952), Kabinet Wilopo (April 1952-Juni
1953), dan Kabinet Ali Sastroamidjojo I (Juli 1953-Juli 1955). Sesuai dengan
konstitusi, parlemen dapat menjatuhkan kabinet jika oposisi di parlemen kuat
dan partai politik yang memerintah kehilangan dukungan.
Kabinet Natsir (6 September 1950-20 Maret 1951)
merupakan kabinet koalisi di mana PNI sebagai partai kedua terbesar dalam
parlemen tidak turut serta. Salah satu sebab PNI menolak turut dalam kabinet
ini ialah merasa tidak diberi kedudukan yang sesuai. Inti kabinet ini ialah
Masyumi dan anggota yang nonpartai. Kabinet ini sebenarnya mencakup para ahli
pada bidangnya. Tokoh-tokoh terkenal, diantaranya Sultan Hamengku Buwono IX,
Mr. Assaat (bekas Pejabat Presiden RI), Ir. Djuanda, dan Prof. Dr. Sumitro
Djojohadikusumo.
Kegagalan kabinet Natsir, yaitu dalam penyelesaian dan
pengembalian Irian Barat ke Indonesia. Inilah yang menyebabkan mosi tidak
percaya dari parlemen terhadap kabinet. Krisis menjadi lebih dalam dengan
adanya mosi Hadikusumo (PNI) mengenai pencabutan PP No. 39/1950 tentang DPRS
dan DPRDS yang diterima baik oleh Parlemen sehingga Kabinet Natsir jatuh. Pada
21 Maret 1951, Natsir mengembalikan mandatnya kepada Presiden Soekarno.
Kabinet Sukiman Wirjosandjojo (April 1951-Februari
1952) yang berusaha menjalankan program, yaitu menjamin keamanan dan
ketentraman, mengusahakan kemakmuran rakyat secepatnya, dan memperbarui hukum
agraria, mempercepat persiapan-persiapan pemilihan umum, menjalankan politik
luar negeri secara bebas-aktif serta memasukkan Irian Barat ke dalam wilayah RI
secepatnya, juga tidak berlangsung lama. Kabinet Sukiman dijatuhkan karena
menandatangani persetujuan bantuan ekonomi dan persenjataan dari Amerika
Serikat kepada Indonesia atas dasar Mutual Security Act (MSA). Persetujuan ini
menimbulkan tafsiran bahwa Indonesia telah memihak Blok Barat (AS).
Kabinet Wilopo (PNI) diresmikan pada April 1952.
Kabinet ini terdiri atas anggota partai PNI dan Masyumi yang masing-masing
mendapat jatah 4 orang PSI 2 orang. PKRI (Partai Katolik Republik Indonesia),
Parkindo (Partai Kristen Indonesia), Parindra (Partai Indonesia Raya), Partai
Buruh, dan PSII maisng-masing 1 orang dan golongan tak berpatai 3 orang.
Kabinet ini diangap sebagai sebuah tim yeng terpadu sesuai dengan keahlian
masing-masing para menterinya. Oleh karena itu, kabinet ini disebut sebagai Zaken
Kabinet.
Silih bergantinya kabinet berpengaruh terhadap
kehidupan ekonomi masyarkat. Buruknya ekonomi diperparah dengan jatuhnya harga
barang-barang ekspor Indonesia, seperti karet, timah, dan kopra. Sebaliknya,
impor barang konsumsi termasuk beras cenderung meningkat. Akibat penerimaan
negara menurun, defisit tidak dapat dihindarkan. Untuk meningkatkan ekspor dan
memperbaiki neraca pembayaran, pemerintah mengambil langkah menurunkan pajak
ekspor serta menghapuskan sistem sertifikat yang oleh kabinet sebelumnya
diadakan untuk meningkatkan penerimaan negara dengan mengorbankan barang-barang
yang pada waktu itu kuat pasarannya. Peningkatan ekspor diimbangi juga dengan
upaya pembatasan impor dengan jalan menaikkan pajak terhadap barang-barang yang
diimpor.
Hampir sama dengan kabinet sebelumnya, Kabinet Wilopo
memiliki program menyiapkan pemilu untuk memilih anggota Konstituante, DPR, dan
DPRD, peningkatan kemakmuran, pendidikan rakyat, dan keamanan, serta
pengembalian Irian Barat–tidak dapat melaksanakan programnya dengan baik. Pada
masa pemerintahannya, kabinet ini dihadapkan pada beberapa masalah sebagai
berikut:
1)
Gerakan provinsialisme serta separatisme.
2)
Munculnya perkumpulan-perkumpulan yang berlandaskan
semangat kedaerahan.
3)
Perselisihan dalam tubuh angkatan bersenjata dikenal
dengan peristiwa 17 Oktober 1952.
4)
Berkembangnya berbagai demonstrasi di daerah yang
menuntut perubahan parlemen.
Berbagai masalah yang dihadapi oleh parlemen ini
mendorong munculnya mosi tidak percaya dari parlemen. Berbagai golongan masyarakat
menuntut agar Kabinet Wilopo dibubarkan. Tuntutan paling keras datang dari
Sidik Kertapati aktivis Sarekat Tani Indonesia (Sakti).
Sebagai penganti Kabinet Wilopo, Mr. Ali
Sastroamidjojo (PNI) ditunjuk untuk menyusun pemerintahan baru. Kabinet yang
dikenal dengan nama Kabinet Ali-Wongso ini diresmikan pada 31 juli 1953. Dalam
kabinet ini Masyumi sebagai partai kedua terbesar dalam parlemen tidak turut
serta dan sebgai penggantinya Nahdlatul Ulama (NU) muncul sebagai kekuatan
politik baru.
Kabinet ini juga dihadapkan pada persoalan daerah,
tertutama dengan munculnya gerakan DI/TII Kartosuwiryo di Jawa Barat, DI/TII
Daud Beureuh di Aceh, dan DI/TII Kahar Muzakar di Sulawesi Selatan. Walaupun
cukup berhasil menyiapkan pemilu, kabinet ini berakhir setelah Ali
Sastroamidjojo mengembalikan mandatnya pada 24 Juli 1955. Kabinet ini ternyata
tidak dapat menyelesaikan persoalan dalam tubuh angkatan bersenjata sebagai
lanjutan dari Peristiwa 17 Oktober dan soal kepemimpinan TNI-AD. Persoalan
memburuknya situasi ekonomi juga telah meningkatkan ketidakpercayaan rakyat
pada pemerintah.
Setelah Kabinet Ali-Wongso berakhir, selama empat
tahun kemudian sampai 1959 terjadi pergantian tiga kali kabinet, yaitu Kabinet
Burhanuddin Harahap (Agustus 1955-Maret 1956), Kabinet Ali Sastroamidjojo II
(Maret 1956-Maret 1957), dan Kabinet Djuanda (Maret 1957-Juli 1959). Selama
empat tahun tersebut, kehidupan kenegaraan yang paling menonjol adalah
dilaksanakannya pemilihan umum tahun 1955 sebagai pemilu pertama dalam sejarah
RI, yang dilaksanakan pada masa Kabinet Burhanuddin Harahap.
Pada 8 Maret 1956, Presiden Soekarno menunjuk Ali
Sastroamidjojo untuk membentuk kabinet baru. Berakhirnya kebinet sebelumnya,
yaitu Burhanuddin disebabkan kekecewaan para pegawai beberapa kementerian seperti
Kementerian Dalam Negeri, Luar Negeri, dan Perekonomian yang terkena mutasi.
Walaupun mendapat kepercayaan yang penuh dari Presiden
Soekarno, kabinet ini tidak luput dari kesukaran-kesukaran, seperti pertikaian
antaretnis dan kekacauan di beberapa daerah pertikaian ini disulut, antara lain
oleh adanya anjuran untuk mengadakan nasionalisasi perusahaan-perusahaan
Belanda di Indonesia. Anjuran tersebut dijawab oleh perusahaan-perusahaan
Belanda dengan cara menjual perusahaannya, terutama kepada orang-orang Cina.
Memang sejak lama orang Cina sudah mempunyai kedudukan yang kuat dalam ekonomi
Indonesia.
Pada 19 Maret 1956, Mr. Assaat di depan Kongres
Nasional Importir Indonesia di Surabaya mengatakan perlunya pemerintah
mengeluarkan peraturan yang melindungi pengusaha-pengusaha nasional terutama
pengusaha pribumi. Pernyataan Assaat ini mendapat sambutan hangat dari
masyarakat berupa Gerakan Assaat. Pemerintah menanggapi gerakan ini dengan
keluarnya pernyataan dari Menteri Perekonomian Burhanuddin Harahap (NU) bahwa
pemeritah akan memberi bantuan terutama pada perusahaan-perusahaan pribumi.
Pergantian pemerintahan dalam waktu yang singkat
menyadarkan elit bangsa bahwa sistem Parlementer memberi peluang terhadap
ketidakstabilan politik. Dalam peringatan Sumpah Pemuda 1957, Presiden Soekarno
menawarkan sebuah konsepsi mengenai sistem Demokrasi Terpimpin yang menimbulkan
reaksi dari berbagai kalangan. Sebenarnya, tawaran tersebut dimaksudkan sebagai
jawaban atas kegagalan Konstituante dalam menyusun undang-undang dasar baru
serta bermunculannya gerakan-gerakan separatis, seperti Dewan Benteng di
Sumatera Tengah, Dewan Lambung Mangkurat di Kalimantan Selatan, dan Dewan
Manguni di Sulawesi Utara.
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Pada masa demokrasi liberal, banyak
kebijakan ekonomi yang dikeluarkan oleh Menteri Perdagangan dan Menteri
Keuangan untuk mengatasi keadaan ekonomi pada masa itu. Tetapi
kebijakan-kebijakan itu banyak yang mengalami kegada pengagalan, dikarenakan
pengusaha pribuminya yang lamban dalam usahanya ataupun karena ada sebagian
pengusaha pribumi yang menyalahgunakan kebijakan itu.
Pada masa demokrasi liberal,
kehidupan politiknya mengalami silih berganti kabinet, hingga ada sekitar 7
kabinet yang pernah memerintah Negara Republik Indonesia. Silih bergantinya
kabinet dikarenakan sesuai dengan konstitusi, parlemen dapat menjatuhkan
kabinet jika oposisi di parlemen kuat dan partai politik yang memerintah
kehilangan dukungan.
3.2
Saran
·
Seharusnya kebijakan ekonomi di masa sekarang
lebih baik lagi, dan tidak ada para anggota DPR maupun pejabat yang
menyalahgunakan uang negara.
·
Seharusnya kehidupan politik di masa sekarang
lebih efektif dengan sistem multipartai.
DAFTAR PUSTAKA
Buku sumber
paket sejarah kelas XI Wayan Badrika, penerbit : Erlangga
Id.wikipedia.org/wiki/Ekonomi_liberal
Fauzanalrasyid/blogspot.com/2012/04/kabinet-pada-masa-demokrasi-liberal.html