No Comments
Andine Sayang Mama
.
Ntah apa yang dipikirkan mama dan papaku. Pernikahan yang sudah terjalin selama 13 tahun berakhir hanya dengan kata “Cerai”. Terlalu mudah untuk mama mengucapkan kata cerai. Aku dan Bobby adikku yang masih berumur 12 tahun tidak tahu apa alasan mama meminta cerai pada papa.
Aku dan Bobby berpisah hanya karena keegoisan mama dan papa. Bobby tinggal dengan papa. Karena papa merasa Bobby lebih cocok untuk meneruskan perusahaan papa daripada aku. Aku terima kalau papa lebih memilih Bobby daripada aku, aku sama sekali tidak iri sama Bobby.
Aku juga lebih memilih tinggal dengan mama daripada papa. Mama selalu mengerti apa yang aku inginkan, tidak seperti papa. Setiap aku ada masalah, pasti mama selalu menghiburku. Terutama ketika aku ada masalah dengan Dimas pacarku. Mama pasti akan memberikan solusi padaku.
“Andine!!! Jawab pertanyaan yang ada di depan!!!” perintah Bu Della guru matematika di sekolahku yang paling galak.
Semua mata siswa dan siswi di kelasku menatapku. Ada yang khawatir, ada yang bersorak ria, dan ada juga yang melihatku tanpa makna.
“Mampus gue!!! Ngapain sih gue ngelamun di saat pelajaran Bu Della. Nyari mati aja. Bisa di gantung nih gue kalau gak bisa ngerjain soal yang menanti ku di depan,” ucapku dalam hati.
Aku berjalan mendekati papan tulis. Mengambil spidol, membuka tutup spidol, dan melihat soalnya.
“Ya ampun!!! Soal macam apa ini. Gue kagak ngerti sama sekali,” gerutuku di dalam hati. Gimana nih? Pura-pura bisa aja deh.
Saat aku ingin menulis jawaban asal-asalanku. Bel tanda istirahat berbunyi nyaring di telingaku. Aku bersorak gembira, terbebas dari kandang singa nih. Terima kasih ya Allah.
Penasaran sama ekspresi Bu Della. Aku melirik sekilas Bu Della. Dia tampak kesal karena mangsanya terbebas. Tapi, lain denganku. Aku tersenyum puas. Hehehe…
Be Della memberi isyarat padaku untuk duduk. Tanpa basa basi aku berjalan menuju kursiku. Duduk dengan manis dan dengan wajah yang sumeringah. Aditya, KM di kelasku yang super cuek dan nggak suka banget di dekati cewek, menyuruh memberi salam.
“Assalamu’alaikum. warakhmatullahi wabarakhaatuh,” ucap kami serempak. Bye-bye Bu Della. Hehehe…
“Lo nih ada-ada aja. Pake ngelamun di kelas segala,” ucap Anggie yang duduk di sebelah ku. Dia itu satu dari dua sahabatku. Satunya lagi…
“Ngelamunin apa sih? Dimas ya? Ehem..ehem… Cieee!!!” Nah, ini dia sahabatku yang satunya lagi. Namanya Dea.
Kalian pasti tahu gimana sifat Dea. Lihat aja cara bicaranya Dea. Menyelidik!!! Kalau aku ngelakui sesuatu yang salah atau aneh. Pasti Dea langsung tanya yang macem-macem. Tapi Dea asyik banget diajak ngobrol, banyak banget yang mau duduk sama dia.
“Nggak!!! Siapa yang mikirin Dimas? Kagak penting!!!”
“Ihh… Bohong banget!!!”
“Terserah deh!!! Mau percaya atau nggak. Yang penting, gue bicara jujur.”
*****
Apa-apaan sih mama. Masa aku disuruh make baju yang super rapi sih. Padahal cuma mau makan di luar doang. Biasanya juga cuma pakai kaos dan jeans.
“Yuk, Andine duduk!!!”
Mama duduk di samping laki-laki yang memakai jas + dasi, umurnya mungkin seumuran dengan mama atau lebih tua satu tahunan. Pasti laki-laki ini teman mama.
“Ini Andine ya? Cantik ya, kayak mamanya. Hahaha…” rayu Om itu.
“Kenalin, ini Om Teddy.” Mama memperkenalkan laki-laki itu padaku.
Aku mengulurkan tanganku. Om Teddy membalas uluran tanganku. “Andine.”
Aku, mama, dan Om Teddy duduk di meja yang cuma ada dua cappuccino yang tinggal setengahnya lagi.
Berarti Om Teddy nggak sendiri. Kan nggak mungkin, Om Teddy pesan dua gelas cappuccino. Di lihat dari badannya, Om Teddy nggak termasuk ke dalam golongan orang gemuk. Tapi, yang satu lagi punya siapa?
“Loh, anaknya mana? Nggak ikut?” tanya mama pada Om Teddy. Aku merasa ada gerak-gerik aneh antara mama dan Om Teddy.
“Itu dia!!!” Om Teddy menunjuk anaknya yang ada di belakangku.
“Ganteng ya!!” Mama memuji anak Om Teddy.
Ganteng? Berarti cowok ya? Aku penasaran dengan anaknya Om Teddy. Om Teddy sih memang ganteng. Hidungnya mancung, rambutnya tertata dengan rapi, hehehe bahasanya kayak apa aja tertata dengan rapi. Sekilas, Om Teddy mirip dengan papa. Anaknya Om Teddy pasti ganteng kayak papanya.
Aku melihat ke arah belakang.
“LO!!!” teriak aku dan anak Om Teddy serempak.
“Kalian sudah pada kenal ya? Wahhh… Syukurlah,” tanya Om Teddy.
“Adit gak kenal dia. Dia cuma teman sekelas Adit doang,” jawab Adit cuek.
Cuek banget sih ini cowok. Asal lo tahu ya Adit, aku juga mau ngomong apa yang kamu omongi tadi. Tapi sayangnya, kedahuluan kamu.
Ternyata anaknya Om Teddy itu Aditya, KM di kelas aku yang super cuek itu loh. Adit memang cakep, tapi sifatnya itu nyebelin. Yang membuat wajahnya terlihat jelek di mataku.
“Ya sudah. Ayo duduk Adit. Langsung aja ya!!!” Om Teddy menyuruh Adit duduk.
Mama dan Om Teddy saling melihat. Muka mama dan Om Teddy malu-malu. Muka mama sama aku, saat aku sedang berduaan dengan Dimas. Ada yang aneh niih…
“Papa mengenal tante Siska di tempat kerja papa. Sudah sekitar setengah tahun kita bersama. Dan papa…”
“Cepetan deh, Pa. To the point aja. Nggak usah pake basa basi,” potong Adit.
“Iya, iya. Jadi, papa dan tante Siska sudah memutuskan untuk…” Om Teddy menjelaskan. Perasaan aku tidak enak. Aku merasa, akan terjadi sesuatu yang sangat besar.
“Menikah!!!” ucap Om Teddy dan mama serentak.
“APA???” Aku berteriak.
Semua pengunjung restoran mewah ini menatapku heran. Aku tidak memperdulikannya. Yang aku pedulikan sekarang, apa maksud mama dan Om Teddy bilang “Menikah”? Gak mungkin mama dan Om Teddy mau menikah. Aku nggak bisa membayangkan, aku dan Adit akan jadi saudara tiri.
Eh iya, reaksi Adit kok cuma diam sih? Nggak kaget seperti aku. Apa dia sudah tahu kalau papanya akan menikah?
“Kenapa Andine? Kamu nggak setuju mama dan Om Teddy menikah?” tanya mama padaku yang masih bengong.
Aku melirik Adit. Berharap Adit mengatakan “Adit nggak setuju!!!”. Tapi kenyataannya tidak sesuai. Adit masih diam. Wajahnya tidak menatap mama, Om Teddy, maupun aku. Matanya tertuju pada bunga-bunga yang sengaja di tanam untuk menghiasi restoran mewah ini.
Sebenarnya aku tidak setuju mama menikah lagi. Aku belum siap pempunyai papa tiri. Aku juga belum mengenal Om Teddy lebih dekat. Aku baru mengenal Om Teddy sekarang.
Kenapa mama nggak pernah cerita tentang Om Teddy? Padahal mama sudah setengah tahun bersama Om Teddy.
Tapi, aku juga tidak mau membuat mama sedih. Aku tidak mau melihat mama menangis seperti 3 tahun yang lalu. Selama 1 tahun, mama hanya diam, seperti tidak ada gairah untuk hidup.
“Andine? Kok diam? Kamu benar-benar nggak setuju mama dan Om Teddy menikah?” Mama membuyarkan lamunanku.
“Andine setuju kok, Ma!!!” jawabku dengan gembira.
Aku terpaksa berbohong agar mamaku tidak sedih. Mamaku tersenyum gembira mendengar jawabanku. Mungkin yang sudah aku lakukan benar. Membuat mama tersenyum.
*****
Aku mencoba membuka pintu kamar Adit yang tertutup rapat.
Mama dan Om Teddy sudah menikah sebulan yang lalu. Sekarang, aku dan Adit menjadi saudara tiri. Jadi, aku bebas mau masuk kamar dia kapan aja. Wkwkwkw…
“Boleh gue masuk?”
“Mau ngapain masuk-masuk ke kamar gue?” ucap Adit kasar.
“Wihhh… Damai sih, damai!! Kita kan sekarang udah jadi saudara tiri,” kata aku sambil mengcungkan jariku membentuk huruf V.
“Gue mau damai. Asal lo manggil gue kakak.”
Apa? Males banget manggil dia kakak. Nggak ikhlas aku manggil dia kakak. Umur aku dan Adit nggak beda jauh. Tahun kami sama, tahun 1992. Bulan kami sama, bulan Agustus. Cuma tanggalnya doang yang beda. Itu juga cuma beda satu tanggal. Adit tanggal 20, aku tanggal 21. Sialnya, Adit dulu yang lahir.
“Hah? Manggil kakak? Kayaknya nggak enak di dengar deh.”
“Enak, enak aja. Mau kan lo manggil gue kakak?”
“Mungkin. Gue coba ya!! Kak Adit!!”
Dengan perasaan tidak ikhlas aku memanggilnya kakak. Aku sudah capek diam-diaman sama Adit. Sejak mama dan Om Teddy menikah, aku dan Adit tidak pernah bicara. Yaa, karena masalah pemanggilan kakak.
“Kak Adit!!!” panggil Lisya, adik perempuannya Adit. Umurnya sama dengan Bobby, 12 tahun. Kalau lihat Lisya, mengingatkan aku pada Bobby.
“Apa?” tanya Adit.
Nada bicaranya memang kasar. Tapi Adit sayang banget loh sama Lisya. Kata papanya, sejak kematian mama Adit, Adit berusaha ngejaga Lisya. Waahh… Kakak yang baik.
“Ada Kak Andine juga ya? Ihh… Cowok sama cewekkan gak boleh berduaan di kamar.” ucap Lisya mengingatkan.
Ihhh… Apaan sih Lisya. Kata-katanya dewasa banget.
“Gak apa-apa dong!! Kan Kak Andine udah jadi adik tirinya Kak Adit. Eh,, Eh,, Lisya sini dong!”
Lisya berjalan ke arahku. Aku langsung memeluk Lisya dengan erat.
“Bobby, kabar kamu gimana? Kakak kangen sama kamu.”
Tanpa sadar aku mengeluarkan airmata yang sudah lama nggak pernah aku keluarkan.
“Kak Andine kok nangis? Kenapa? Kak Adit, Kak Adit!!! Kak Andine nangis!!” Lisya memanggil-manggil Adit yang lagi tiduran di kasurnya sambil megang HPnya.
“Kak Andine nggak apa-apa kok. Mata Kak Andine kelilipan. Perih nih!! Udah ya, Kak Andine keluar dulu.”
Secepat kilat aku berlari meninggalkan dua bersaudara itu. Airmataku tidak dapat ditahan lagi. Di depan pintu kamar Adit, aku nangis tersedu-sedu.
“Aku harus cari tahu gimana keadaan Bobby sekarang.” Aku bertekad dalam hati.
Informasi terakhir yang aku dapat. Bobby tinggal di komplek yang sama dengan aku. Berarti nggak jauh-jauh dari rumah aku. Oke. Aku muter-muterin komplek rumah aku aja. Siapa tahu aja Bobby lagi main di depan rumah.
Tanpa basa-basi. Aku menuju bagasi, mengambil motor Honda beat biru aku. Lalu pergi mencari Bobby.
“Aduuhh…. Ternyata susah ya, nyari Bobby. Padahal satu komplek, tapi nggak pernah ketemu. Apa udah pindah rumah ya?”
Aku berhenti di taman bermain yang ada di komplek rumahku. Aku melihat motor yang sama dengan Dimas. Mungkin banyak motor yang sama dengan Dimas. Tapi, motor yang ada di depanku bernomor polisi D 134 S, itu nomor polisi motor Dimas. Gak salah lagi, itu pasti motor Dimas. Ngapain Dimas di taman bermain?
Jadi penasaran. Cari aja deh!!!
Aku memakirkan motor di dekat motor Dimas. Lalu mengitari taman bermain.
“Itu Dimas!!” Aku lihat Dimas lagi duduk-duduk di tempat duduk taman bermain. Dengan… “Bobby!!!” teriak aku.
Nggak nyangka, Bobby yang lagi aku cari. Ternyata lagi bersama Dimas.
“Andine?” Dimas tampak heran ngeliat aku yang tiba-tiba nongol di depan mereka berdua.
“Bobby!!! Kakak kangen banget sama Bobby!!! Gimana kabarnya? Baik? Tinggal dimana sekarang?” Bobby tampak bingung mau ngejawab pertanyaan aku yang mana dulu.
“Dimas!! Kok Bobby bisa sama lo sih?” Belum aja Bobby ngejawab pertanyaan aku. Aku malah ngebuat pertanyaan baru ke Dimas.
“Iya. Pas gue mau ke rumah lo. Gue lihat Bobby lagi duduk di sini sendiri. Ya udah, gue samperin aja dia.” Dimas menjelaskan.
“Owwhh gitu. Ngapain Bobby di sini sendiri?”
“Bobby males di rumah. Ada mama baru yang suka ngatur.”
“Mama baru yang suka ngatur? Maksud Bobby? Papa nikah lagi? Sama siapa?” Kebiasaan buruk aku muncul. Kebiasaan buruk nanya beruntun.
“Iya, papa nikah lagi. Nggak tahu sama siapa kali. Bobby nggak kenal. Kalau mama gimana?”
“Owhhh… Mama juga udah nikah lagi, By. Sebulan yang lalu.”
“Sebulan yang lalu? Sama dong kayak papa.”
Hah? Lucu ya. Sudah bercerai, tapi tetap masih kompak. Menikah di hari yang sama.
“Udah yuk, ke rumah kakak!” ajak aku.
Tadinya Bobby menolak. Setelah aku bujuk dengan berbagai rayuan. Bobby akhirnya mau ke rumahku.
*****
“Yuk masuk!!!” ajak aku setelah tiba di rumah baruku.
Aku, Bobby, dan Dimas duduk di teras rumah aku. Di teras rumah, aku menunggu mama datang.
Tepat jam 19.00. Mama dan papa Teddy datang.
“Ma, ada Bobby!!! Bobby kangen sama mama loh!!!”
“Bobby? Bobby siapa? Mama baru dengar!”
Kata-kata mama mengagetkan aku. Mama kok bicara seperti itu. Bobby langsung keluar dari rumah aku. Lisya dan Adit yang daritadi ada di dalam rumah keluar melihat suara aku yang berteriak-teriak.
“Mama kok bisa bicara gitu? Mama nggak mungkin nggak tahu siapa Bobby. Dia itu anak mama. Mama jahat! Mama udah ngelupain Bobby! Andine nggak pernah nyangka mama sejahat ini!”
Aku dan Dimas pergi dari rumah mengejar Bobby yang sudah berlari menjauh dari mama.
“Bobby! Maafin mama ya, Kak Andine benar-benar nggak nyangka mama bisa bicara sejahat itu,” ucapku lirih.
Bobby akhirnya pulang ke rumahnya. Aku benar-benar menyesal mengajak Bobby ke rumahku.
*****
Sudah 2 bulan aku tidak pulang ke rumah. Semenjak kejadian Bobby. Aku menginap di rumah Dea dan Anggie.. Aku sebenernya kangen sama mama tapi….
“Andine!!! Mama lo,” ucap Dimas tiba-tiba di depan rumah Dea.
“Mama kenapa?” tanyaku khawatir.
“Mama lo sekarang lagi di rumah sakit. Dia sakit kanker jantung.”
“APA???”
Aku yang lagi duduk di teras depan rumah Dea langsung berdiri. Kami berdua pergi ke rumah sakit.
Di rumah sakit, aku melihat papa Teddy, Adit, Lisya, dan BOBBY.
“Ma, maafin Andine. Andine udah pergi dari rumah tanpa bilang ke mama, hiks,” tangisku.
“Maafin mama juga ya. Mama nggak bermaksud lupa sama Bobby. Mama cuma nggak mau Bobby menjadi sedih, saat tahu mama punya penyakit kanker. Mama ingin Bobby membenci mama, jadi saat mama meninggal Bobby tidak bersedih.”
“Mama ngomong apa sih. Mama kan nggak mungkin meninggal.”
Mama tersenyum kepadaku. Tiba-tiba saja denyut nadi mama hanya garis lurus. Semua dokter dan suster
berusaha menolong mama. Tapi, dokter itu menggelengkan kepalanya.
Aku hanya berdiri melihat muka mama yang di tutup oleh selimut rumah sakit. Airmataku tak tertahan lagi. Dimas dan Bobby memelukku.
“Maafin Andine, ma! Andine sayang mama.” ucapku pelan.
_Tamat_