A
cerpen by Annisa Aprilia dan Annida Sholihah
“Kau percaya cinta? Cinta itu
bagiku… Menyesatkan. Lihatlah yang terjadi pada mereka. Setelahnya, kau masih
percaya cinta?Bodoh!”
Tak
pernah aku bayangkan jika kedua orang tuaku akan bercerai dan menikah lagi. Sebagai
anak bungsu, aku hanya bisa diam, mengikuti keinginan egois mereka. Kakakku –kak
Radit- sebenarnya dapat mencegah perceraian itu, tapi dia lebih memilih untuk
tidak peduli, menganggap semua itu bukan urusannya. Sampai hari ini, aku tak
pernah tahu alasannya.
Tak
jauh dari tempatku berdiri, ibuku menatapku dalam ekspresi yang aneh. Aaah aku
lupa, dia bukan ibuku. Lebih realistik jika aku menyebutnya ibu ‘tiri’. Sejujurnya, aku tidak pernah bersedia
memanggilnya dengan sebutan “Mama”, hanya
ada satu ibu di hidupku, dia yang mengandungku selama 9 bulan, dia yang
melahirkanku dengan rasa sakit yang tak tertahankan, aku menyayangi dia, ibu kandungku.
Mungkin
kalian bertanya-tanya, jika aku begitu menyayangi ibuku, kenapa aku tidak ikut
saja dengan ibuku, kenapa memilih tinggal bersama ayahku? Aku juga tak tahu
jawabannya. Ayah dan ibuku bercerai sejak aku duduk di bangku SMP, saat itu aku
masih gadis lugu yang polos, aku masih mempercayai apapun yang dikatakan
kepadaku dari orang-orang tertentu, aku tidak tahu apa-apa. Aku seperti orang
bodoh yang gampang sekali dimanfaatkan. Yang aku tahu, aku tidak ingin berpisah
dari Kak Radit, dan ternyata Kak Radit lebih memilih untuk tinggal bersama ayah.
Dengan berat hati ibu kandungku mengizinkan ayah membawa anak-anaknya.
Andai
saja waktu bisa diulang, aku ingin memilih tinggal bersama ibu kandungku. Aku
tidak ingin membuatnya hidup dalam kesendirian, merasakan kesedihan tanpa ada
yang menenangkannya. Sejak saat itulah, saat ayahku memutuskan untuk menikah
lagi. Semua pemikiranku berubah. Sayangnya, semua sudah terlambat. Bunda,
maaf…
“Sayang,
di makan dong nasi gorengnya.” ucap ibu ‘tiriku’ dengan suara yang lembut, aku
tak mendengar intonasinya. Aku lebih merasakan seperti hal itu di buat-buat.
“Ayah,
aku berangkat duluan!” tanpa menoleh lagi aku berangat ke sekolah dengan motor
Spacy –hadiah ulang tahun- dari Bunda, meninggalkan ayah sebelum ia berteriak
memanggil namaku. Kak Radit tak pernah peduli. Siapa yang tahu, aku selalu
melewatkan jam sarapan sejak ayah membawa keluarga barunya ke rumah ini.
***
“Rasanya seperti roda. Tiba-tiba
hidupku berubah. 180 derajat…”
Kenapa?
Kenapa harus satu sekolah? Bahkan satu kelas!
Di
meja pojok sebelah kanan, bangku pertama. Terlihat gadis -yang menurut penilaian
orang-orang- dia itu baik, cantik,
pintar, santun dan beda jauh denganku. Putri Vionna Herlambang. Nama
belakangnya -Herlambang- sama seperti nama ayahku. Ya, dia adalah saudara
tiriku. Perfect! Orang-orang memberi gelar sebagai ‘Miss Perfect’ padanya.
Seminggu setelah kepindahannya di sekolah ini.
Sejak
ayahku memperkenalkan dia, aku tidak pernah suka sedikit pun padanya.
Menatapnya saja membuatku kesal. Aku bertanya-tanya, apa yang membuat
orang-orang menilai dia sebagus itu? Aku tak bermaksud iri, rasanya seperti kesal,
mengapa mereka harus membanding-bandingkannya denganku!?
“Hey
Reinna, coba deh kamu ngikutin sikap saudara kamu itu. Pasti terlihat manis.
Atau bisa jadi lebih manis?” Kata Tyo -dengan nada bercanda- sahabat lamaku yang
memuja Vionna bak seorang ratu. Menjijikkan!
Hampir
tiap hari dia berkata seperti itu padaku, aku hanya menganggapnya seperti tong
kosong, aku sudah kebal, seperti biasanya.
Lagi pula, hal itu lama-kelamaan akan hilang terbawa angin.
“Jangan
harap Tyo!” kataku cuek.
“Vionnaaa,
ajarin saudara kamu ini supaya bersikap manis dong!” teriak Tyo, membuat seisi kelas mendengarnya.
Ia mengedipkan sebelah matanya ke arahku. Aku melongo. Berusaha tak
menghiraukan tatapannya. Jika dulu aku akan membalasnya, tidak dengan saat ini.
Aku sudah cukup lelah dengan semua yang terjadi. Dan Tyo menyadari perubahan
sikapku. Ia hanya ingin membuatku sama seperti dulu lagi.
Hal
yang menyebalkan terjadi, semua yang ada di kelas tertawa, sebagian ada yang
menambahkan kata-kata Tyo, sebagian lagi hanya mengangguk-anggukan kepala tanda
setuju. Aku menatap satu-persatu teman-teman kelasku, frustasi dengan tawa
mereka.
“Udah
jangan pada ketawa! Tyo kamu apa-apaan sih ngomong gitu.” Vionna berdiri dari
kursinya, menghampiriku yang duduk tegang, lebih terlihat seperti orang yang
sedang waspada menghadapi musuh.
“Iya
maaf, cuma bercanda doang kok” Tyo berusaha terlihat menyesal, tapi sedetik
kemudian dia tertawa terbahak-bahak lagi. Tawanya terhenti saat menyadari aku
melotot ke arahnya. Ia hanya berdehem.
Diikuti kesunyian. Anak-anak yang lain akhirnya bubar, tapi aku tahu. Kami masih
jadi pusat perhatian.
“Kamu
tak apa, Rein?” Tangan Vionna yang hangat menyentuh pundakku. Aku
bertanya-tanya kenapa tangan ini terasa hangat? Perlahan aku menyingkirkan
tangan itu. Dan berlari ke luar tepat saat bel istirahat berbunyi.