ARTIKEL KETUHANAN
Diajukan
untuk memenuhi tugas akhir mata kuliah Pendidikan Agama
Disusun
oleh:
ANNISA
APRILIA
2225141025
Semester 1 Kelas A
PROGRAM
STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA
FAKULTAS
KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS
SULTAN AGENG TIRTAYASA
2014
KETUHANAN
PENDAHULUAN
Dalam sejarah peradaban Yunani, tercatat bahwa pengkajian
tentang eksistensi Tuhan menempati tempat yang khusus dalam bidang pemikiran
filsafat. Tradisi argumentasi filosofis tentang eksistensi Tuhan, sifat dan
perbuatan-Nya ini kemudian secara berangsur-angsur masuk dan berpengaruh ke
dalam dunia keimanan Islam. Tradisi ini mewujudkan semangat baru di bawah
pengaruh doktrin-doktrin suci Islam dan kemudian secara spektakuler melahirkan
filosof-filosof seperti Al-Farabi dan Ibnu Sina, dan secara riil, tradisi ini
juga mempengaruhi warna pemikiran teologi dan tasawuf (irfan) dalam penafsiran
Islam.
Perkara tentang Tuhan secara mendasar merupakan subyek
permasalahan filsafat. Ketika kita membahas tentang hakikat alam maka
sesungguhnya kita pun membahas tentang eksistensi Tuhan. Secara hakiki, wujud
Tuhan tak terpisahkan dari eksistensi alam, begitu pula sebaliknya, wujud alam
mustahil terpisah dari keberadaan Tuhan. Tuhan yang hakiki adalah Tuhan yang
disampaikan oleh para Nabi dan Rasul yakni, Tuhan hakiki itu bukan di langit
dan di bumi, bukan di atas langit, bukan di alam, tetapi Dia meliputi semua
tempat dan segala realitas wujud.
PEMBAHASAN
Tuhan dipahami sebagai
zat Mahakuasa dan asas dari suatu kepercayaan. Tidak ada kesepakatan
bersama mengenai konsep ketuhanan, sehingga ada berbagai konsep ketuhanan
meliputi teisme, deisme, panteisme,
dan lain-lain.
Dalam pandangan teisme,
Tuhan merupakan pencipta sekaligus pengatur segala kejadian di alam
semesta. Menurut deisme, Tuhan merupakan pencipta alam
semesta, namun tidak ikut campur dalam kejadian di alam semesta. Menurut
panteisme, Tuhan merupakan alam semesta itu sendiri. Para cendekiawan
menganggap berbagai sifat-sifat Tuhan berasal dari konsep ketuhanan yang berbeda-beda.
Yang paling umum, di antaranya adalah Mahatahu (mengetahui segalanya),
Mahakuasa (memiliki kekuasaan tak terbatas), Mahaada (hadir di mana pun),
Mahamulia (mengandung segala sifat-sifat baik yang sempurna), tak ada yang
setara dengan-Nya, serta bersifat kekal abadi. penganut monoteisme percaya
bahwa Tuhan hanya ada satu, serta tidak berwujud (tanpa materi), memiliki
pribadi, sumber segala kewajiban moral, dan "hal terbesar yang dapat
direnungkan". Banyak filsuf abad pertengahan dan modern terkemuka
yang mengembangkan argumen untuk mendukung dan membantah keberadaan Tuhan.
Ada banyak nama untuk
menyebut Tuhan, dan nama yang berbeda-beda melekat pada gagasan kultural
tentang sosok Tuhan dan sifat-sifat apa yang dimilikinya. Atenisme pada
zaman Mesir
Kuno,
kemungkinan besar merupakan agama monoteistis tertua yang pernah tercatat dalam
sejarah yang mengajarkan Tuhan sejati dan pencipta alam semesta, yang disebut Aten.
Dalam bahasa
Arab,
nama Allah digunakan,
dan karena predominansi Islam di antara para penutur bahasa Arab, maka nama
Allah memiliki konotasi dengan kepercayaan dan kebudayaan Islam. Umat muslim mengenal 99
nama suci bagi
Allah, sedangkan umat Yahudi biasanya menyebut Tuhan dengan gelar Elohim atau Adonai (nama
yang kedua dipercaya oleh sejumlah pakar berasal dari bahasa Mesir Kuno, Aten). Dalam agama
Hindu, Brahman biasanya dianggap sebagai Tuhan monitis.
Agama-agama lainnya memiliki panggilan untuk Tuhan, di antaranya: Baha dalam
agama Baha’I, Waheguru dalam sikhisme, dan Ahura Mazda dalam Zoroastrianisme.
Banyaknya konsep
tentang Tuhan dan pertentangan satu sama lain dalam hal sifat, maksud, dan
tindakan Tuhan, telah mengarah pada munculnya pemikiran-pemikiran seperti omniteisme, pandeism, atau filsafat Perennial, yang
menganggap adanya satu kebenaran teologis yang
mendasari segalanya, yang diamati oleh berbagai agama dalam sudut pandang yang
berbeda-beda, maka sesungguhnya agama-agama di dunia menyembah satu Tuhan yang
sama, namun melalui konsep dan pencitraan mental yang berbeda-beda
mengenai-Nya.
Etimologi dan
Terminologi
Kata Tuhan dalam bahasa
Melayu kini
berasal dari kata tuan.
Buku pertama yang memberi keterangan tentang hubungan kata tuan dan Tuhan
adalah adalah Ensiklopedi
Populer Gereja oleh Adolf
Heuken SJ (1976). Menurut buku tersebut, arti kata Tuhan ada hubungannya dengan kata Melayu tuan yang berarti atasan/penguasa/pemilik. Kata "tuan" ditujukan kepada
manusia, atau hal-hal lain yang memiliki sifat menguasai, memiliki, atau
memelihara. Digunakan pula untuk menyebut seseorang yang memiliki derajat yang
lebih tinggi, atau seseorang yang dihormati. Penggunaannya lumrah digunakan
bersama-sama dengan disertakan dengan kata lain mengikuti kata "tuan"
itu sendiri, dimisalkan pada kata "tuan rumah" atau "tuan
tanah" dan lain sebagainya. Kata ini biasanya digunakan dalam konteks
selain keagamaan yang bersifat ketuhanan.
Ahli bahasa Remy
Sylado menemukan
bahwa perubahan kata "tuan" yang bersifat insani, menjadi
"Tuhan" yang bersifat ilahi, bermula dari terjemahan Alkitab ke
dalam bahasa Melayu karya Melchior
Leijdecker yang
terbit pada tahun 1733. Dalam terjemahan sebelumnya, yaitu kitab suci Nasrani
bahasa Melayu beraksara Latin terjemahan Brouwerius yang muncul pada tahun
1668, kata yang dalam bahasa Yunaninya, Kyrios, dan sebutan yang
diperuntukkan bagi Isa
Almasih ini
diterjemahkannya menjadi "tuan". Kata yang diterjemahkan oleh
Brouwerius sebagai “Tusn”-sama dengan bahasa Senhor, Perancis Seigneur,
Inggris Lord, Belanda Heere-melalui
Leijdecker berubah menjadi "Tuhan" dan kemudian, penerjemah Alkitab
bahasa Melayu melanjutkan penemuan Leijdecker tersebut. Kini kata Tuhan yang
awalnya ditemukan oleh Leijdecker untuk mewakili dua pengertian pelik insani
dan ilahi dalam teologi Kristen atas sosok Isa Almasih akhirnya menjadi lema
khas dalam bahasa Indonesia.
Kata "Tuhan"
pada umumnya dipakai untuk merujuk kepada suatu zat abadi dan supernatural.
Bagi rumpun agama
samawi, kata Tuhan sendiri biasanya mengacu pada Allah,
yang diyakini sebagai zat yang Mahasempurna, pemilik langit dan bumi yang
disembah manusia. Dalam bahasa
Arab kata
ini sepadan dengan kata rabb.
Menurut Ibnu Atsir, Tuhan dan tuan secara bahasa diartikan pemilik, penguasa,
pengatur, pembina, pengurus dan pemberi nikmat. Kata Tuhan disebutkan lebih
dari 1.000 kali dalam Al-Qur'an,
sementara di dalam Alkitab kata
Tuhan disebutkan sebanyak 7677 kali. Dalam monoteisme,
biasanya dikatakan bahwa Tuhan mengawasi dan memerintah manusia dan alam
semesta atau
jagat raya. Hal ini bisa juga digunakan untuk merujuk kepada beberapa
konsep-konsep yang mirip dengan ini, misalnya sebuah bentuk energi atau
kesadaran yang merasuki seluruh alam semesta, yang keberadaan-Nya membuat alam
semesta ada; sumber segala yang ada; kebajikan yang terbaik dan tertinggi dalam
semua makhluk hidup; atau apapun yang tak bisa dimengerti atau dijelaskan.
Di dalam bahasa
Melayu atau bahasa
Indonesia, dua konsep atau
nama yang berhubungan dengan ketuhanan, yaitu: Tuhan sendiri, dan dewa.
Penganut monoteisme biasanya
menolak menggunakan kata dewa, karena merujuk kepada entitas-entitas dalam
agama politeistis.
Meskipun demikian, penggunaan kata dewa pernah digunakan sebelum penggunaan
kata Tuhan. Dalam Prasasti
Trengganu, prasasti tertua
di dalam bahasa Melayu yang
ditulis menggunakan huruf
Arab (huruf
Jawi)
menyebut Sang Dewata Mulia
Raya. Dewata yang dikenal orang Melayu berasal dari kata devata,
sebagai hasil penyebaran
agama Hindu-Buddha di Nusantara.
Bagaimanapun, pada masa kini, pengertian istilah Tuhan digunakan untuk merujuk
Tuhan yang tunggal, sementara dewa dianggap mengandung arti salah satu dari
banyak Tuhan sehingga cenderung mengacu kepada politeisme.
Konsep
tentang Tuhan
Tidak ada kesepahaman
mengenai konsep ketuhanan. Konsep ketuhanan dalam agama
samawi meliputi definisi
monoteistis tentang Tuhan dalam agama Yahudi,
pandangan Kristen tentang TriTunggal, dan konsep Tuhan dalam Islam. Agama-agama dharma juga
memiliki pandangan berbeda-beda mengenai Tuhan. Konsep ketuhanan dalam agama
Hindu tergantung pada wilayah, sekte, kasta, dan beragam, mulai dari
panenteistis, monoteistis, politeistis, bahkan ateistis. Keberadaan sosok ilahi
juga diakui oleh Gautama Buddha, terutama Sakra dan Brahma.
Monoteisme
dan Henoteisme
Hubungan antara Allah
Bapa, Allah Anak, dan Rob Kudus dalam Scutum
Fidei, menjelaskan garis besar konsep Tritunggal.
Penganut monoteisme mengklaim
bahwa Tuhan hanya ada satu, dan beberapa ajaran monoteistis mengklaim bahwa
Tuhan sejati adalah Tuhan yang dipuja oleh semua agama dengan nama yang
berbeda-beda. Pandangan bahwa seluruh pemuja Tuhan (dalam agama yang
berbeda-beda) sesungguhnya memuja satu Tuhan yang sama-entah disadari atau tidak
disadari oleh umat tersebut-terutama diajarkan dalam agama
Hindu dan Sikh.
Agama
samawi atau
dikenal juga sebagai rumpun agama abrahamis (karena meyakini Abraham/Ibrahim sebagai
nabi) atau agama langit dimaksudkan untuk menunjuk agama
Yahudi, Kristen,
dan Islam.
Agama-agama ini dikenal sebagai agama monoteistis karena hanya menekankan
keberadaan satu Tuhan. Yahudi dan Islam bahkan menolak visualisasi Tuhan karena
menurut mereka tidak ada sesuatu yang dapat menyerupai Tuhan. Meskipun
serumpun, agama-agama ini menggunakan sebutan/panggilan yang berbeda yang
disebabkan oleh perbedaan bahasa dan rentang sejarahnya. Adapun nama yang
sering disebutkan yaitu: Yahweh dalam agama
Yahudi; Bapa atau Yesus dalam Kristen; Allah dalam Islam.
Agama
Kristen mengenal
konsep Tritunggal,
yang maksudnya Tuhan memiliki tiga pribadi: Bapa, Putra, dan Roh Kudus. Konsep
ini terutama dipakai dalam Gereja Katolik dan Gereja Ortodoks. Konsep ini
merupakan paham monoteistis yang dipakai sejak Konsili
Nicea I pada
tahun 325 M. Kata "Tritunggal" sendiri tidak ada dalam Alkitab.
Di dalam Ulangan 6:4 ditulis
bahwa Tuhan itu Esa. Keesaan ini pada bahasa aslinya (ekhad) adalah
"kesatuan dari berbagai satuan". Contohnya, pada Kejadian 2:24 ditulis
"keduanya (manusia dan istrinya) menjadi satu (ekhad) daging" berarti
kesatuan dari 2 manusia. Di Kejadian 1:26 Allah
menyebut diri-Nya dengan kata ganti "Kita", mengandung kejamakan
dalam sifat Tuhan. Pengertiannya adalah satu substansi ketuhanan, namun terdiri
dari tiga pribadi.
Di samping monoteisme
yang menolak keberadaan dewa-dewi, ada ajaran henoteisme yang meyakini dan
memuja satu Tuhan, namun juga meyakini keberadaan dewa-dewi lainnya
dan bahkan dapat turut memuja mereka. Variasi istilah tersebut adalah
"monoteisme inklusif" dan "politeisme monarkis", dipakai
untuk membedakan ragam dari fenomena tersebut. Henoteisme mirip namun kurang
eksklusif daripada monolatri
(pemujaan satu Tuhan) karena monolator hanya memuja satu Tuhan (menolak
keberadaan dewa-dewi untuk disembah), sedangkan penganut henoteisme dapat
memuja dewa-dewi dari panteon yang
mereka yakini, tergantung keadaan, meskipun biasanya mereka hanya akan memuja
satu Tuhan saja sepanjang hidup mereka (kecuali ada konversi tertentu). Dalam
beberapa agama, pemilihan Tuhan Mahakuasa dalam kerangka henoteistis dapat saja
terjadi, tergantung alasan kultural, geografis, historis, bahkan politis.
Teisme,
Deisme, dan Panteisme
Teisme pada
umumnya mengajarkan bahwa Tuhan ada secara realistis, objektif, dan independen.
Tuhan diyakini sebagai pencipta dan pengatur segala hal; mahakuasa dan kekal
abadi; personal dan berinteraksi dengan alam semesta melalui pengalaman
religius dan doa-doa umat-Nya. Teisme menegaskan bahwa Tuhan sukar dipahami
oleh manusia sekaligus kekal selamanya; maka, Tuhan bersifat tak terbatas
sekaligus ada untuk mengurus kejadian di dunia. Meski demikian, tidak seluruh
penganut teisme mengakui dalil tersebut. Teologi Katolik menyatakan bahwa Tuhan
Mahakuasa sehingga tidak akan terikat pada waktu. Banyak penganut teisme
percaya bahwa Tuhan Mahakuasa, Mahatahu, dan Mahapenyayang, meskipun keyakinan
ini memicu timbulnya pertanyaan mengenai tanggung jawab Tuhan terhadap adanya
kejahatan dan penderitaan di dunia. Beberapa penganut teisme menganggap Tuhan
menahan diri meskipun memiliki kuasa, tahu apa yang akan terjadi, dan penuh kasih
sayang. Sebaliknya, menurut teisme terbuka,
karena adanya sifat asasi waktu, atribut Mahatahu tidak berarti bahwa Tuhan
juga dapat memprediksikan masa depan. "Teisme" kadangkala digunakan
untuk mengacu kepada kepercayaan terhadap adanya Tuhan dan dewa/dewi secara
umum, contohnya monoteisme dan politeisme.
Deisme mengajarkan
bahwa Tuhan sukar dipahami oleh akal manusia. Menurut penganut deisme, Tuhan
itu ada, namun tidak ikut campur dalam urusan kejadian di dunia setelah Ia
selesai menciptakan alam semesta. Menurut pandangan ini, Tuhan tidak memiliki
sifat-sifat kemanusiaan, tidak serta-merta menjawab doa umatnya dan tidak
menunjukkan mukjizat. Secara umum, deisme meyakini bahwa Tuhan memberi
kebebasan kepada manusia dan tidak mau tahu mengenai apa yang diperbuat
manusia. Dua cabang deisme dan pandeisme mengkombinasikan deisme dengan panteisme dan panenteisme.
Pandeisme dimaksudkan untuk menjelaskan mengapa Tuhan menciptakan alam semesta
kemudian mengabaikannya, sebagaimana
panteisme menjelaskan asal mula dan maksud keberadaan alam semesta
Panteisme mengajarkan
bahwa Tuhan adalah alam semesta dan alam semesta itu Tuhan, sedangkan panenteisme menyatakan
bahwa Tuhan meliputi alam semesta, namun alam semesta bukanlah Tuhan. Konsep
ini merupakan pandangan dalam ajaran Gereja Katolik Liberal, Theosophy,
beberapa mahzab agama Hindu, Sikhisme, beberapa divisi Neopaganisme dan
Taoisme. Kabbalah, mistisisme Yahudi, melukiskan pandangan Tuhan
panteistis/panenteistis- yang diterima secara luas oleh aliran Yahudi Hasidik,
khususnya dari pendiri mereka, Baal Shem Tov-namun
hanya sebagai tambahan terhadap pandangan Yahudi mengenai Tuhan personal, tidak
dalam pandangan panteistis murni yang menolak batas-batas persona Tuhan.
Konsep
Ketuhanan Lainnya
Disteisme,
yang terkait dengan teodisi,
adalah bentuk teisme yang mengajarkan bahwa Tuhan tidak sepenuhnya baik namun
juga tidak sepenuhnya jahat sebagai konsekuensi adanya masalah
kejahatan. Salah satu contoh aplikasi pandangan ini berasal
dari kisah karya Dostoevsky,
Karamazov
Bersaudara.
Pada masa kini,
beberapa konsep yang lebih abstrak telah dikembangkan, misalnya teologi
proses dan teisme terbuka. Filsuf Prancis kontemprer Michel Henry menyatakan
suatu pendekatan sebagai esensi fenomenologis dari
kehidupan.
Tuhan juga diyakini
sebagai zat yang tak berwujud, sesuatu yang berkepribadian, sumber segala
kewajiban moral, dan "hal terbesar yang dapat direnungkan".
Atribut-atribut tersebut diakui oleh teolog Yahudi, Kristen awal, muslim, yang
terkemuka di antaranya adalah: Maimonides, Agustinus dari Hippo, dan Al-Ghazali.
Keberadaan
Tuhan
Ada banyak persoalan
filosofis mengenai keberadaan Tuhan. Beberapa definisi Tuhan tidak bersifat
spesifik, sementara yang lainnya menguraikan sifat-sifat yang saling
bertentangan. Argumen tentang keberadaan Tuhan pada umumnya meliputi tipe
metafisis, empiris, induktif, dan subjektif, sementara yang lainnya berkutat
pada teori evolusioner, aturan, dan kompleksitas di dunia. Pendapat yang
menentang keberadaan Tuhan pada umumnya meliputi tipe empiris, deduktif, dan
induktif.
Ada banyak pendapat
yang dikemukakan dalam usaha pembuktian keberadaan Tuhan. Beberapa pendapat
terkemuka adalah Quinque
viae, argumen dari
keinginan yang
dikemukakan oleh C.S.
Lewis, dan argumen ontologis yang
dikemukakan oleh St.
Anselmus dan Descartes.
Bukti-bukti tersebut diperdebatkan dengan sengit, bahkan di antara para penganut
teisme sekalipun. Beberapa di antaranya, misalnya argumen ontologis, masih
sangat kontroversial di kalangan penganut teisme. Aquinas menulis
risalah tentang Tuhan untuk menyangkal bukti-bukti yang diajukan Anselmus.
Pendekatan yang
dilakukan Anselmus adalah
untuk mendefinisikan Tuhan sebagai "tidak ada yang lebih besar
daripada-Nya untuk bisa direnungkan". Filsuf panteis Baruch
Spinoza membawa
gagasan tersebut lebih ekstrem: "Melalui Tuhan aku memahami sesuatu yang
mutlak tak terbatas, yaitu, suatu zat yang mengandung atribut-atribut tak
terbatas, masing-masing menyiratkan esensi yang kekal dan tidak terbatas".
Bagi Spinoza, seluruh alam semesta terbuat dari satu zat, yaitu Tuhan, atau
padanannya, yaitu alam. Bukti keberadaan Tuhan yang diajukannya merupakan
variasi dari argumen ontologis.
Fisikawan kondang,
Stephen Hawking, dan penulis Leonard Mlodinow menyatakan dalam buku mereka, The Grand Design, bahwa merupakan hal
yang wajar untuk mencari tahu siapa atau apa yang membentuk alam semesta, namun
bila jawabannya adalah Tuhan, maka pertanyaannya berbalik menjadi siapa atau
apa yang menciptakan Tuhan. Terkait pertanyaan ini, lumrah terdengar bahwa ada
sesuatu yang tidak diciptakan dan tidak perlu pencipta, dan sesuatu itu disebut
Tuhan. Hal ini dikenal sebagai argumen sebab
pertama untuk
mendukung keberadaan Tuhan. Akan tetapi, kedua penulis tersebut mengklaim bahwa
pasti ada jawaban masuk akal secara ilmiah, tanpa mencampur keyakinan tentang
hal-hal gaib.
Beberapa teolog,
misalnya ilmuwan sekaligus teolog A.E. McGrath,
berpendapat bahwa keberadaan Tuhan bukanlah pertanyaan yang bisa dijawab dengan
metode ilmiah. Agnostik Stephen
Jay Gould berpendapat
bahwa ilmu pengetahuan dan agama tidak bertentangan dan tidak saling menjatuhkan.
Beberapa kesimpulan
yang diperoleh dari berbagai argumen yang mendukung dan menentang keberadaan
Tuhan adalah: "Tuhan tidak ada" (ateisme kuat);
"Tuhan hampir tidak ada" (ateisme de
facto); "tidak jelas apakah Tuhan ada atau
tidak" (agnostisisme); "Tuhan ada,
namun tidak bisa dibuktikan atau dibantah (teisme lemah);
dan "Tuhan ada dan dapat dibuktikan" (teisme kuat).
Tuhan
Dalam Sudut Pandang Nonteistis
Menurut ajaran nonteisme,
alam semesta dapat dijelaskan tanpa mengungkit hal-hal gaib atau sesuatu yang
tak teramati. Beberapa nonteis menghindari konsep ketuhanan, sementara menurut yang
lain, hal itu amat penting; nonteis lainnya memandang sosok Tuhan sebagai
simbol nilai-nilai dan aspirasi manusia. Ateis asal
Inggris, Charles
Bradlaugh menyatakan
bahwa ia menolak untuk berkata "Tuhan itu tidak ada", karena kata
'Tuhan' sendiri terdengar sebagai ungkapan untuk maksud yang tidak jelas atau
tak nyata; secara lebih spesifik, ia berkata bahwa ia tidak meyakini Tuhan
menurut agama Kristen.
Stephen
Jay Gould melakukan
pendekatan dengan membagi dunia filosofi menjadi "non-overlapping
magisteria" (NOMA). Menurut pandangan
tersebut, pertanyaan seputar hal-hal gaib/supernatural,
seperti halnya keberadaan dan sifat-sifat Tuhan, bersifat non-empiris dan lebih
layak diulas dalam bidang teologi.
Metode ilmiah seyogianya dipakai untuk menjawab pertanyaan mengenai dunia
nyata, dan teologi dipakai untuk menjawab pertanyaan tentang tujuan sejati dan
nilai-nilai moral. Menurut pandangan ini, kurangnya bukti empiris tentang
kekuatan supernatural terhadap kejadian alam, menyebabkan ilmu pengetahuan
menjadi pilihan pokok dalam menjelaskan fenomena di dunia.
Menurut pandangan
lainnya, yang dikembangkan oleh Richard
Dawkins, dinyatakan bahwa keberadaan Tuhan adalah
pertanyaan empiris, dengan alasan bahwa "alam semesta dengan tuhan akan
sungguh berbeda dengan yang tanpa tuhan, dan itu tentu merupakan perbedaan
ilmiah." Carl
Sagan berpendapat
bahwa doktrin Pencipta Alam Semesta sulit dibuktikan maupun dibantahkan, dan
penemuan ilmiah yang dapat menyangkal keberadaan Sang Pencipta tentu menjadi
penemuan bahwa usia alam semesta tidak terbatas.
Tuhan
Antropomorfis
Pascal Boyer berpendapat
bahwa dalam dunia yang dipenuhi oleh berbagai konsep seputar hal gaib yang
berbeda-beda, secara umum, makhluk gaib tersebut cenderung bertindak selayaknya
manusia. Penggambaran dewa-dewi dan makhluk gaib lainnya selayaknya manusia
adalah ciri yang mudah dikenali dari suatu agama. Sebagai contoh, mitologi
Yunani, yang menurutnya cenderung menyerupai opera
sabun masa
kini daripada suatu sistem kepercayaan. Bertrand du
Castel dan Timothy Jurgensen mendemonstrasikan
melalui formalisasi bahwa penjelasan Boyer cocok dengan epistemologi fisika
dalam memosisikan entitas yang diamati sebagai intermedian tidak secara
langsung. Antropolog Stewart
Guthrieberpendapat bahwa masyarakat memproyeksikan ciri
manusia kepada aspek-aspek non-manusia di dunia karena itu akan membuat
aspek-aspek tersebut lebih familier. Sigmund
Freud juga
menyatakan bahwa konsep ketuhanan adalah proyeksi sosok ayah bagi seseorang.
Émile
Durkheim adalah
salah seorang pertama yang menyatakan bahwa tuhan merepresentasikan ekstensi
kehidupan sosial manusia untuk memasukkan unsur-unsur gaib. Mengimbangi
pernyataan tersebut, psikolog Matt Rossano berpendapat
bahwa ketika manusia mulai hidup dalam kelompok-kelompok yang lebih besar,
mereka menciptakan sosok tuhan sebagai penegakan atas moralitas. Dalam kelompok
yang lebih kecil, moralitas dapat dijaga dengan kekuatan sosial seperti
penyebaran gosip atau penjagaan nama baik. Akan tetapi, lebih sulit untuk
menjaga moralitas dalam kelompok besar dengan menggunakan kekuatan sosial.
Rossano menyatakan bahwa dengan menambahkan kepercayaan akan tuhan dan makhluk
gaib yang mahatahu, maka manusia menemukan strategi efektif untuk mengendalikan
keegoisan dan membangun kelompok yang lebih kooperatif.
Pemikiran
Umat Islam Terhadap Tuhan
Pemikiran terhadap
Tuhan yang melahirkan Ilmu Tauhid (ilmu yang membahas segala
kepercayaan-kepercayaan yang diambil dari dalil-dalil keyakinan dan hukum-hukum
di dalam Islam termasuk hukum mempercayakan Allah itu esa), Ilmu Kalam (ilmu
yang membahas hal-hal tentang keimanan), atau Ilmu Ushuluddin (ilmu yang
membahas pokok-pokok dasar agama, seperti akidah) di kalangan umat Islam,
timbul beberapa periode setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW. Yakni pada saat
terjadinya peristiwa tahkim antara kelompok Ali bin Abi Thalib dengan kelompok
Mu’awiyyah. Secara garis besar, ada aliran yang bersifat liberal, tradisional,
dan ada pula yang bersifat di antara keduanya. Sebab timbulnya aliran tersebut
adalah karena adanya perbedaan metodologi dalam memahami Al-Quran dan Hadist
dengan pendekatan kontekstual sehingga lahir aliran yang bersifat tradisional.
Sedang sebagian umat Islam yang lain memahami dengan pendekatan antara
kontektual dengan tektual sehingga lahir aliran yang bersifat antara liberal
dengan tradisional. Aliran-aliran tersebut yaitu :
a. Mu’tazilah
Merupakan kaum rasionais di
kalangan muslim, serta menekankan pemakaian akal pikiran dalam memahami semua
ajaran dan keimanan dalam Islam. Dalam menganalisis ketuhanan, mereka memakai
bantuan ilmu logika Yunani, satu sistem teologi untuk mempertahankan kedudukan
keimanan. Mu’tazilah lahir sebagai pecahan dari kelompok Qadariah, sedang
Qadariah adalah pecahan dari Khawarij.
b. Qodariah
Berpendapat bahwa manusia mempunyai
kebebasan dalam berkehendak dan berbuat. Manusia sendiri yang menghendaki
apakah ia akan kafir atau mukmin dan hal itu yang menyebabkan manusia harus
bertanggung jawab atas perbuatannya.
c. Jabariah
Berteori bahwa manusia tidak
mempunyai kemerdekaan dalam berkehendak dan berbuat. Semua tingkah laku manusia
ditentukan dan dipaksa oleh Tuhan. Aliran ini merupakan pecahan dari Murji’ah.
d. Asy’ariyah
dan Maturidiyah
Hampir semua pendapat dari kedua
aliran ini berada di antara aliran Qadariah dan Jabariah. Semua aliran itu
mewarnai kehidupan pemikiran ketuhanan dalam kalangan umat Islam periode masa
lalu. Pada prinsipnya aliran-aliran tersebut di atas tidak bertentangan dengan
ajaran dasar Islam. Oleh karena itu umat Islam yang memilih aliran mana saja
diantara aliran-aliran tersebut sebagai teologi mana yang dianutnya, tidak
menyebabkan ia keluar dari Islam. Menghadapi situasi dan perkembangan ilmu
pengetahuan sekarang ini, umat Islam perlu mengadakan koreksi ilmu berlandaskan
al-Quran dan Sunnah Rasul, tanpa dipengaruhi oleh kepentingan politik tertentu.
Konsep
Ketuhanan menurut Islam
Konsep Ketuhanan dapat
diartikan sebagai kecintaan, pemujaan atau sesuatu yang dianggap penting oleh
manusia terhadap sesuatu hal (baik abstrak maupun konkret). Eksistensi atau
keberadaan Allah disampaikan oleh Rasul melalui wahyu kepada manusia, tetapi
yang diperoleh melalui proses pemikiran atau perenungan.
Konsep ketuhanan dalam
Islam digolongkan menjadi dua : konsep ketuhanan yang berdasarkan Al-Quran dan
hadits secara harfiah dengan sedikit spekulasi sehingga banyak pakar ulama
bidang akidah yang menyepakatinya. Menurut para mufasir, melalui wahyu pertama
(AL-ALaq 96:1-5), Tuhan menunjukkan dirinya sebagai pengajar manusia.
Informasi melalui wahyu
tentang keimanan kepada Allah dapat dibawa dalam kutipan di bawah ini:
a. Surat
Al-Anbiya’: 25 yang artinya “Dan Kami tidak mengutus seorang Rasul pun sebelum
kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya, bahwasanya tidak ada Tuhan selain
Allah, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku”.
Sejak diutusnya Nabi Adam AS sampai
Muhammad SAW Rasul terakhir. Ajaran Islam yang Allah SWT wahyukan kepada para
utusan-Nya adalah Tauhidullah atau monotheisine murni.
Sedangkan lafadz kalimat tauhid itu adalah laa ilaha illa Allah. Ada
perbedaan ajaran tentang Tuhan yang ada asalnya dari agama wahyu. Hal semacam
itu disebabkan manusia mengubah ajaran tersebut. Dan hal seperti itu termasuk
kebohongan yang besar (dhulmun’adhim).
b. Surat
Al-Maidah: 72 “Dan Al masih berkata; Hai Bani Israil, sembahlah Allah Tuhanku
dan Tuhanmu, sesungguhnya orang yang mempersekutukan Allah, maka Allah pasti
mengharamkan baginya surga dan tempatnya adalah neraka”.
c. Surat
Al-Baqarah: 163 “ Dan Tuhamu adalah Tuhan yang Maha Esa, tidak ada Tuhan
kecuali Dia yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang”.
Ayat-ayat di atas
menegaskan bahwa Allah SWT adalah Tuhan yang mutlak keesaannya. Lafadz Allah
SWT adalah isim jamid, personal nama,
atau isim a’dham yang tidak dapat
diterjemahkan, digantikan atau disejajarkan dengan yang lain. Seseorang yang
telah mengaku Islam dan telah mengikrarkan kalimat Syahadat Laa ilaha
illa Allah (tidak ada Tuhan selain Allah) berarti telah memiliki
keyakinan yang benar, yaitu monoteisme murni/monoteisme mutlak.
Sebagai konsekuensianya, ia harus menempatkan Allah SWT sebagai prioritas utama
dalam setiap aktivitas kehidupan.
PENUTUP
Konsep tentang Ketuhanan, menurut pemikiran manusia, berbeda dengan
konsep Ketuhanan menurut ajaran Islam. Konsep Ketuhanan menurut pemikiran
manusia baik deisme, panteisme, maupun teisme, tidak memberikan tempat bagi
ajaran Allah dalam kehidupan, dalam arti ajaran Allah tidak fungsional. Paham
panteisme meyakini Tuhan berperan, namun yang berperan adalah Zat-Nya, bukan
ajaran-Nya. Sedangkan konsep ketuhanan dalam Islam justru intinya adalah konsep
ketuhanan secara fungsional. Maksudnya, fokus dari konsep ketuhanan dalam Islam
adalah bagaimana memerankan ajaran Allah dalam memanfaatkan ciptaan-Nya.
Dalam konsep Islam, Tuhan diyakini
sebagai Zat Maha Tinggi Yang Nyata dan Esa, Pencipta Yang Maha Kuat dan Maha
Tahu, Yang Abadi, Penentu Takdir, dan Hakim bagi semesta alam.
Sumber :
http://id.wikipedia.org/wiki/Tuhan
(diunduh 24 Desember 2014, 15:09)
http://pesantrenvirtualshahih.blogspot.com/2012/08/pengertian-tuhan-dan-agama.html
(diunduh 24 Desember 2014, 15:09)
http://misteri-mumin.blogspot.com/2013/06/pengertian-tuhan-dan-teori-ketuhanan.html
(diunduh 24 Desember 2014, 15:09)
http://id.m.wikipedia.org/wiki//Tuhan_dalam_Islam
(diunduh 25 Desember 2014, 12:32)
http://emmasalim.blogspot.com/2013/12/makalah-konsep-ketuhanan-dalam-islam.html
(diunduh 25 Desember 2014, 12:32)
http://nuristiar.blogspot.com/2013/10/makalah-pai-konsep-ketuhanan-dalam-islam.html
(diunduh 25 Desember 2014, 12:32)
Water Hack Burns 2 lb of Fat OVERNIGHT
Over 160k men and women are using a simple and secret "water hack" to burn 1-2lbs each and every night while they sleep.
It's very simple and works every time.
Here's how to do it yourself:
1) Go get a glass and fill it up with water half glass
2) And now follow this crazy HACK
so you'll be 1-2lbs lighter the very next day!